Sejak masa kolonial hingga era modern, kelas borjuis yang merupakan kelompok pemilik alat produksi dan kekayaan memegang peran penting dalam struktur sosial dan ekonomi Indonesia. Borjuis sering dikaitkan dengan kelompok elit yang menguasai sumber daya serta memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan dan perekonomian.
Kelas borjuis yang dominan saat ini merupakan warisan kolonial yang sejak awal menciptakan ketimpangan sosial, dengan akses terhadap pendidikan, lahan, dan modal yang membentuk posisi gaya hidup mapan mereka. Sementara itu, sebagian besar masyarakat masih hidup dalam keterbatasan, sedangkan kemerdekaan justru lebih dirasakan oleh kelompok dominan. Realitas ini mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan sekadar lepas dari penjajahan, tetapi juga tentang menjamin kesetaraan hak dan kesempatan bagi semua.
Sejarah dan Peran Borjuis di Indonesia
Sejarah kelas borjuis di Indonesia berakar sejak masa kolonial, saat masyarakat terbagi antara pemilik alat produksi dan buruh, dengan kelas menengah sebagai perantara. Tidak seperti Eropa yang didominasi aristokrat tanah, kekuasaan ekonomi-politik di Indonesia banyak dikuasai oleh birokrasi negara. Negara menjadi aktor utama dalam pembentukan sistem kapitalisme yang memberi akses ekonomi kepada kelompok tertentu, sehingga borjuis awal tumbuh bukan dari kekuatan modal murni, melainkan dari kedekatan dengan kekuasaan.
Pada awalnya, kelas borjuis besar di Indonesia belum menonjol karena kapitalisme berkembang melalui dukungan negara, bukan kekuatan modal murni. Memasuki era 1980-an, kapitalis besar mulai memainkan peran penting dalam perekonomian, terutama pengusaha Tionghoa. Meski mengalami diskriminasi sejak masa kolonial, mereka justru menjadi mitra utama negara, khususnya melalui BUMN. Karena keterbatasan akses politik, banyak dari mereka bergantung pada negara dan rezim Suharto sebagai pelindung dan menciptakan hubungan erat antara kekuasaan dan bisnis.
Menurut Robison (1996a), kelas menengah dan borjuis Indonesia dibagi ke dalam beberapa kelompok, seperti kelas menengah atas dan bawah, kapitalis pribumi kecil dan besar, serta kapitalis besar Tionghoa. Masing-masing memiliki peran dan tantangan tersendiri. Hal ini menunjukkan bahwa kelas borjuis di Indonesia terbentuk dari relasi yang kompleks antara ekonomi, politik, etnisitas, serta tidak bersifat tunggal atau seragam.
Apakah Kemerdekaan Hanya Dinikmati oleh Borjuis?
Sejak teks Proklamasi Kemerdekaan RI dibacakan, banyak yang meyakini bahwa Indonesia telah terbebas dari penjajahan fisik. Namun, kemerdekaan yang dimaknai sebagai kebebasan penuh dalam menentukan nasib sendiri masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan.
Dalam aspek ekonomi, Indonesia masih menerapkan sistem kapitalis liberal yang merupakan warisan dari negara barat. Kebijakan ekonomi pun tidak lepas dari pengarah Lembaga Keuangan Internasional seperti IMF. Kondisi ini memungkinkan investor asing bebas keluar masuk, sehingga sumber daya alam yang ada sebagai besar bahkan hampir seluruhnya berada di bawah kendali mereka.
Selain itu, pengaruh keluarga cendana sebagai elit politik dan ekonomi di Indonesia pada era Orde Baru juga menjadi bukti nyata ketidakmerataan dalam menikmati hasil kemerdekaan. Keluarga ini menguasai sebagian besar sektor ekonomi melalui berbagai bisnis dan monopoli, sementara kebijakan pemerintah sering kali berpihak kepada kepentingan mereka. Hal ini menciptakan kesenjangan yang semakin dalam antara elit dan masyarakat umum.
Mengutip dari nasional.kompas.com, Radhar Panca Dahana, seorang Budayawan dan Satrawan, menjelaskan bahwa sebagian besar manfaat dari kemerdekaan lebih banyak dirasakan oleh segelintir elit, sementara sebagian besar masyarakat masih mengalami kesulitan ekonomi. “Rakyat kecil sampai saat ini belum merasakan apa itu kemerdekaan yang dicita-citakan Bapak Bangsa. Semarak kemerdekaan ternyata hanya dinikmati para elite dan kapitalis yang menindas kemerdekaan rakyat,” ujar Radhar.
Fakta bahwa kemerdekaan yang seharusnya dinikmati oleh seluruh rakyat masih belum sepenuhnya terwujud. Hingga kini, ketimpangan sosial dan ekonomi masih terasa, di mana elite dan kaum kapitalis lebih banyak merasakan manfaatnya, sementara rakyat kecil masih berjuang untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Maka, perjuangan untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya masih harus terus dilanjutkan.
Borjuis dan Masa Depan Keadilan Sosial
Keberadaan kelas borjuis dalam sistem ekonomi Indonesia tidak bisa dihindari, tetapi yang perlu diperhatikan bagaimana mereka berkontribusi terhadap pemerataan kesejahteraan. Kaum borjuis memiliki tanggung jawab sosial untuk memastikan bahwa kekayaan dan sumber daya yang mereka miliki juga berdampak positif bagi masyarakat luas.
Namun, alih-alih menciptakan kesejahteraan yang merata, sistem kapitalisme justru memperdalam ketimpangan sosial dan memperburuk kondisi masyarakat. Ketidakadilan ekonomi yang dihasilkan membuat banyak orang terus terjebak dalam kesulitan, sementara segelintir pihak semakin diuntungkan.
“Kapitalisme itu memelihara kemiskinan dan kebodohan, bukan malah berusaha menghilangkannya. Sudah terbukti bahwa kapitalisme itu menyengsarakan masyarakat berkemanusiaan,” jelas Radhar.
Dalam menghadapi ketimpangan ini, dibutuhkan kebijakan yang mampu mengurangi kesenjangan sosial, seperti reformasi agraria, peningkatan akses pendidikan bagi masyarakat miskin, serta kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil. Dengan demikian, kemerdekaan yang diperjuangkan tidak hanya menjadi simbol politik, tetapi juga berdampak nyata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Penulis: Alya Komala
Editor: Shalza