Pada perputaran roda industri yang kini melaju, banyak tangan-tangan terampil yang ikut andil dalam perkembangannya, termasuk para perempuan. Namun, dibalik itu banyak tersimpan luka yang masih menganga. Para pekerja perempuan sering kali mengalami diskriminasi dalam menjalankan tugasnya.

Stigma dan stereotip melekat kuat kepada para pekerja perempuan. Hal inilah yang menyebabkan perempuan tidak mendapatkan hak yang setara dalam dunia pekerja. Diskriminasi yang terjadi terhadap pekerja perempuan berakar dari budaya patriarki dan stereotip gender yang melekat dalam kehidupan masyarakat.

Luka di Setiap Peluh Pekerja Perempuan

Tinggal dan tumbuh di lingkungan yang masih memiliki budaya patriarki yang kental, membuat para pekerja perempuan merasakan banyak kesulitan dalam menjalankan hak dan kewajibannya di dalam industri pekerjaan. Realitasnya,  perempuan masih dipandang sebagai objek dan dianggap  lebih rentan mengalami tekanan di dunia kerja.

Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024, mencatat 1.451 kasus kekerasan seksual terjadi di ruang publik. Komnas Perempuan mengkategorikan ruang publik meliputi tempat umum, dunia pendidikan, tempat tinggal, tempat kerja, siber, tempat medis, serta perdagangan orang dan kekerasan terhadap buruh migran. Komnas Perempuan mencatat, bahwa kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan tertinggi terhadap perempuan di ranah komunitas, dengan pelaku yang seringkali adalah rekan kerja atau atasan.

Salah satu kasus nyata yang mencerminkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di dunia kerja adalah modus eksploitasi seksual yang dikenal dengan istilah staycation. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan, staycationdigunakan sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja bagi pekerja perempuan, di mana eksploitasi seksual terjadi ketika atasan menyalahgunakan ketimpangan relasi kuasa dan kerentanan pekerja perempuan untuk memperoleh layanan seksual demi kepentingannya sendiri.

Stigma dan stereotip yang menganggap para pekerja laki-laki lebih logis dalam mengambil keputusan dan perempuan dianggap lebih melibatkan perasaan, mempengaruhi terjadinya perbedaan upah dalam pekerjaan. Berdasarkan data UN Women dan ILO menunjukkan bahwa perempuan dengan tingkat pendidikan yang sama bisa mendapatkan lebih kecil 23% dari gaji laki-laki. Hal ini terjadi karena stereotip bahwa kehidupan mereka ditanggung oleh suami. Selain itu, anggapan perempuan yang memiliki kewajibannya sebagai ibu rumah tangga dijadikan acuan dalam representasi kepemimpinan. Ironisnya, stigma yang melekat mengarahkan perempuan kedalam lingkaran pekerjaan tanpa keseimbangan hak yang didapatkan.

Lingkaran Ketidakadilan yang Tak Kunjung Usai

Adanya budaya patriarki dan stereotip gender yang melekat pada pekerja perempuan mengarahkan perempuan kedalam lingkaran kesengsaraan yang tak berujung. Diskriminasi akan terus dirasakan oleh para perempuan jika budaya dan stereotip tersebut masih melekat di benak masyarakat.

Melansir dari Kompas.com, kondisi khusus perempuan seperti datang bulan, hamil, dan menyusui yang dialami tidak boleh dijadikan alasan dan beban. “Tapi kondisi khusus perempuan tidak bisa menjadi alasan bagi siapapun untuk mengesampingkan pemenuhan kebutuhan spesifik perempuan atau bahkan memandang perempuan sebagai beban,”  ujar Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

Ditambah dengan adanya relasi kuasa yang masih terus terjadi di lingkungan pekerjaan, menyebabkan para perempuan semakin tersisihkan dari kesempatan karir yang seharusnya sudah diraih. Relasi kuasa, budaya patriarki, dan stereotip gender harus segera dihapuskan agar para pekerja perempuan mendapatkan kesempatan yang adil dalam mengembangkan kariernya.

Penulis: Ananda Rizka

Editor: Shalza Bilillah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini