Di balik benteng intelektual dan kebebasan bersuara, realitanya kampus tidak seindah slogannya. Transparansi yang digaungkan hanya berhenti di permukaan, sementara tembok tinggi yang dibangun menyelubungi budaya anti kritik didalamnya. Ironisnya, tempat yang mengajarkan keterbukaan justru menjadi arena pembungkaman, ancaman, bahkan pembredelan suara-suara kritis.
Menurut Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), kasus represi terhadap pers mahasiswa (Persma) meningkat tajam dari 58 kasus pada periode 2017-2019 menjadi 185 kasus pada periode 2020-2021. Bentuk represi yang dialami bervariasi, seperti teguran, pencabutan berita, hingga makian. Mayoritas tindakan represi ini dilakukan oleh birokrat kampus, sesama mahasiswa, dan organisasi mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA).
Situasi ini mencerminkan adanya paradoks dalam dunia akademik, di mana institut pendidikan seharusnya mendorong kebebasan berpikir dan berpendapat, justru menjadi ruang pembungkaman kebenaran. Upaya untuk menutup ruang bagi persma yang sering kali menjadi salah satu pengawas kritis di kampus, menunjukkan bahwa kampus bukan lagi menjadi ruang terbuka untuk perkembangan intelektual, melainkan tempat yang membatasi pertumbuhan demokrasi dan pemikiran kritis.
Menghadapi Batasan Penghalang Liputan di Kampus Sendiri
Alih-alih membuka ruang dialog, pihak kampus justru menutup rapat akses data yang seharusnya bersifat publik. Ketika liputan mengangkat isu sensitif seperti penyalahgunaan anggaran, kekerasan seksual, atau kebijakan kampus yang merugikan mahasiswa, pers mahasiswa seolah dihadapkan oleh tembok pembungkaman. Segala upaya pembungkaman dilakukan oleh pihak kampus, mulai dari permintaan wawancara ditolak tanpa alasan yang jelas, intervensi secara tersirat, mengecam liputan yang dilakukan, bahkan mengabaikan jurnalis kampus seolah mereka tidak memiliki hak untuk menggali informasi.
Kasus yang menimpa Lembaga Pers Mahasiswa Catatan Kaki (LPM CAKA) Universitas Hasanuddin dan LPM Lintas IAIN Ambon mencerminkan wajah kelam kebebasan persma di kampus. Peliputan terkait kekerasan seksual yang seharusnya menjadi bentuk kontrol sosial justru berujung pada intimidasi dari birokrat kampus. Tuduhan ancaman pencemaran nama baik institusi dan ancaman penundaan ijazah, hingga tekanan adat untuk meminta maaf dilontarkan untuk membungkam suara-suara kritis.
Tidak hanya LPM CAKA, LPM Progress merasakan hal yang serupa, Valen, salah satu anggota LPM Progress menyatakan bahwa liputannya mengenai kasus kekerasan seksual menuai intervensi dari pihak kampus, “LPM Progress juga sedang menangani kasus kekerasan seksual. Tapi kita nggak separah Unhas, saat itu kami diminta untuk takedown pernyataan sikap kami, dan kami juga waktu itu dipanggil oleh lembaga rektorat. Di situ kami diminta untuk tidak memberitakan hal-hal yang mencemari nama baik kampus,” ujar Valen dalam forum Diskusi Publik pada Kamis, (19/12/24), di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Ancaman intervensi terhadap Persma turut dirasakan oleh LPM Gema Alpas Universitas Pancasila. Beberapa waktu lalu, anggota LPM Gema Alpas mendapatkan ancaman fisik berupa penonjokan oleh oknum mahasiswa, ancaman ini terjadi ketika salah satu oknum mahasiswa merasa tidak terima dengan pemberitaan yang kami angkat mengenai kekerasan seksual di kampus. Tak hanya itu, sekretariat Gema Alpas juga didatangi oleh pihak pimpinan universitas yang meminta agar berita tersebut dihapus (take down).
Dengan menekan pemberitaan, pihak kampus tidak hanya melanggar kebebasan berpendapat, tetapi juga menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam menghadapi isu-isu sensitif yang seharusnya ditangani dengan transparan.
Persma Sebagai Pengawas, Bukan Alat Propaganda Kampus
Pers mahasiswa (Persma) merupakan lembaga independen yang menerapkan Kode Etik Jurnalistik dalam setiap kegiatannya. Serta memiliki peran sebagai pengawas sosial dalam mengkritisi kebijakan dan tindakan kampus. Namun, seringkali pers mahasiswa dipandang sebelah mata, Persma kerapkali dianggap sebagai alat humas yang hanya bertugas mempromosikan citra positif kampus.
Persma bukan humas kampus juga dinyatakan langsung oleh Sari Wijaya, selaku anggota dari YAPPIKA–Koalisi kebebasan berserikat, “Pers kampus itu bukan seperti humas kampus, kalau pers kampus itu dia punya fungsi kontrol sosial di kampusnya. Sehingga harusnya logikanya, kalau ada sesuatu yang tidak sesuai sistem, terus dikritik, gausah marah, baper banget jadi sistem,” ujar Sari Wijaya dalam Diskusi Publik bertajuk ‘kampus sebagai ruang demokrasi: kebebasan berekspresi sudah mati?’ pada Kamis, (19/12/24) di Sekretariat AJI Jakarta.
Tak hanya itu, Sari menambahkan bahwa seharusnya pihak kampus atau rektorat tidak boleh anti kritik, karena kritik adalah bentuk dari kebebasan berekspresi di ruang akademik. Seharusnya kampus menjadi tempat demokrasi itu tetap hidup. Jadi seharusnya kampus tidak bawa perasaan (baper) ketika Persma menyuarakan suara-suara mahasiswa.
Dibalik peran penting tersebut, pers mahasiswa berada dalam posisi yang sangat rentan. Tidak adanya perlindungan hukum yang kuat bagi persma semakin memperburuk situasi. Akibatnya, persma menjadi sasaran yang mudah diintervensi bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan mereka. Intervensi yang terjadi kepada persma mencederai nilai-nilai demokrasi yang semestinya menjadi pilar utama di lingkungan akademik.
Meskipun berada dibawah berbagai tekanan, persma tetap teguh menjalankan perannya. Keteguhan ini menjadi bukti bahwa persma tidak pernah dan tidak akan menjadi alat humas kampus. Persma adalah penjaga transparansi, pengungkap kebenaran, dan suara kritis yang tidak dapat dibungkam. Dengan segala keterbatasannya, persma tetap berdiri sebagai benteng kebebasan di tengah gempuran intervensi dan represi yang ada.
Penulis : Sarah Aini Salsabila
Editor: Febriyanti