Sebagai ibu kota sekaligus pusat ekonomi dan perdagangan Indonesia, Jakarta telah mengalami pertumbuhan populasi yang luar biasa selama beberapa dekade terakhir. Dengan lebih dari 10 juta penduduk, kota ini menjadi wilayah metropolitan dengan perekonomian terbesar kedua di ASEAN setelah Singapura. Namun, di balik kemajuan ini, dampak terhadap lingkungan sekitar telah menjadi semakin serius dan mengancam masa depan kota tersebut.

Salah satu permasalahan utama yang dihadapi Jakarta akibat pemanasan global adalah polusi yang disebabkan oleh kemacetan lalu lintas yang parah. Keterbatasan infrastruktur perkotaan dalam menampung ratusan ribu komuter setiap tahun menyebabkan tingkat emisi yang tinggi, berkontribusi terhadap risiko kesehatan yang serius bagi penduduk. Selain itu, kelangkaan air bersih telah memaksa sekitar 60% penduduk mengandalkan air tanah sebagai sumber utama air minum mereka.

Hal ini berdampak buruk pada kestabilan tanah, karena ekstraksi air tanah yang berlebihan menyebabkan penurunan muka tanah (land subsidence) yang semakin parah. Diperkirakan bahwa pada tahun 2040, sekitar 30% wilayah Jakarta akan tergenang air akibat kombinasi dari penurunan tanah dan kenaikan permukaan laut yang dipicu oleh perubahan iklim.

Urbanisasi dan Dampaknya

Sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan, Jakarta menghadapi tantangan besar dalam hal infrastruktur dan tata kota. Urbanisasi yang pesat telah menyebabkan pembangunan pemukiman informal yang tidak teratur, serta peningkatan risiko banjir akibat berkurangnya lahan hijau dan sistem drainase yang tidak memadai.

Salah satu penyebab utama penurunan muka tanah di Jakarta adalah penggunaan air tanah secara besar-besaran. Setiap tahun, lebih dari 8 juta meter kubik air tanah diekstraksi, yang mengakibatkan cadangan air tanah kota hanya tersisa sekitar 36% dari total awalnya. Akibatnya, Jakarta mengalami penurunan tanah rata-rata 15 cm per tahun, bahkan di beberapa wilayah mencapai lebih dari 25 cm per tahun. Dengan kenaikan permukaan laut sebesar 3,6 mm per tahun, kini sekitar 40% wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut, dan menjadikannya sangat rentan terhadap banjir.

Dampak dari banjir yang semakin sering terjadi telah merusak infrastruktur kota dan meningkatkan biaya perbaikan setiap tahunnya. Di tahun 2023 sendiri, kerugian akibat banjir di Jakarta diperkirakan mencapai Rp2,9 triliun per tahun dan diproyeksikan meningkat menjadi Rp8,3 triliun per tahun pada 2030. Keadaan ini semakin memburuk karena penggundulan hutan bakau di pesisir Jakarta, yang mencapai 93% dari total luas awalnya seluas 291,17 hektar. Hilangnya hutan bakau ini mengurangi perlindungan alami terhadap abrasi dan gelombang pasang, sehingga semakin memperparah risiko banjir dan bencana lingkungan lainnya.

Relokasi Ibu Kota ke Nusantara: Solusi atau Ancaman Baru?

Untuk mengatasi permasalahan yang semakin parah, pemerintah Indonesia memutuskan untuk membangun ibu kota baru, Nusantara, di Kalimantan Timur. Rencana ini diharapkan dapat mengurangi kepadatan penduduk Jakarta serta meminimalkan dampak ekonomi dari bencana banjir yang akan datang. Namun, rencana ini juga menimbulkan perdebatan terkait dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkannya.

Pembangunan Nusantara diklaim sebagai solusi ramah lingkungan, dengan janji bahwa 70% wilayahnya akan berupa ruang hijau serta memiliki sistem transportasi berbasis energi listrik.  Namun, banyak ahli memperingatkan bahwa proyek ini justru akan memperburuk krisis lingkungan.

Pengembangan ibu kota baru di tengah hutan hujan Kalimantan berpotensi mempercepat deforestasi, meningkatkan polusi, dan memperburuk perubahan iklim secara keseluruhan. Lebih dari 1.400 izin pertambangan telah dikeluarkan di Kalimantan, mencakup area yang lebih besar dari Belgia, dan tiga pembangkit listrik tenaga batu bara baru telah dipesan untuk menopang kebutuhan energi ibu kota baru ini. Hal ini menunjukkan bahwa Nusantara tidak akan menjadi kota hijau sebagaimana yang dijanjikan, tetapi justru akan memperburuk emisi karbon dan eksploitasi sumber daya alam.

Selain dampak ekologis, rencana pemindahan ibu kota juga berisiko meningkatkan kesenjangan sosial di Jakarta. Dengan biaya pembangunan yang diperkirakan mencapai Rp520,8 triliun, pemerintah kemungkinan akan mengalihkan anggaran dari proyek-proyek penanggulangan banjir di Jakarta. Sementara para pejabat dan elite bisnis akan dapat pindah ke Nusantara, sebagian besar masyarakat miskin yang tinggal di pemukiman kumuh di Jakarta akan tetap menghadapi ancaman bencana alam tanpa bantuan yang memadai.

Alternatif Solusi untuk Menyelamatkan Jakarta

Dengan tantangan besar yang dihadapi Jakarta dan ketidakpastian mengenai efektivitas proyek Nusantara, diperlukan solusi alternatif yang lebih berkelanjutan dan inklusif untuk mengatasi permasalahan ini. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah memulihkan hutan bakau yang telah ditebang, karena vegetasi ini dapat membantu melindungi pesisir dari abrasi dan banjir rob. Selain itu, pengembalian fungsi kawasan hijau di Jakarta dengan memperbanyak taman kota dan merestorasi bantaran sungai akan membantu meningkatkan penyerapan air hujan ke dalam tanah, mengurangi risiko banjir serta memperlambat penurunan muka tanah.

Selain solusi berbasis alam, perlu adanya investasi dalam infrastruktur yang lebih baik, seperti sistem drainase yang lebih efisien dan peningkatan akses air bersih untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada air tanah. Pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan pengurangan emisi kendaraan dengan memperbanyak transportasi umum berbasis listrik dan mengembangkan jalur pejalan kaki serta sepeda.

Meskipun tantangan yang dihadapi Jakarta sangat besar, harapan masih ada jika solusi yang tepat diterapkan. Alih-alih meninggalkan Jakarta dan membangun ibu kota baru yang berisiko merusak ekosistem Kalimantan, pemerintah seharusnya mengalokasikan anggaran yang besar untuk memperbaiki kondisi lingkungan dan infrastruktur kota.

Penulis: Raihan Fadilah

Penulis: Raihan Fadilah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini