21 Maret 1960, sebuah tragedi terjadi di Sharpeville, Afrika Selatan. Pihak polisi menembak para peserta aksi demonstrasi damai yang menentang hukum apartheid.

Apartheid itu sendiri adalah salah satu jenis politik yang menggunakan sistem pemisahan atau pembedaan dalam kelas sosial  seperti ras, agama, dan kepercayaan. Kelompok mayoritas akan mendominasi kelompok minoritas. Politik ini menganggap kulit hitam sebagai orang hina dan perlu diasingkan. Jelas hal ini termasuk pelanggaran HAM dan merupakan diskriminasi rasial yang dilakukan oleh bangsa barat.

Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian berhasil mengesahkan resolusi yang memproklamirkan tanggal 21 Maret sebagai Hari Internasional Penghapusan Diskriminasi. Selain itu, di belahan dunia lainnya gerakan anti rasisme memang sedang mencapai puncaknya, salah satunya di Amerika Serikat pada kurun tahun 1950-1960 yang terkenal sebagai gerakan hak-hak sipil (civil rights movement). Gerakan ini mendorong pengesahan peraturan revolusioner khususnya Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964 yang mengakui persamaan hak semua orang Amerika tanpa membedakan ras, warna kulit, agama atau jenis kelamin.

Tentu saja ini adalah pencapaian besar bagi orang kulit hitam di Amerika karena mereka telah hidup selama bertahun-tahun dengan segregasi dan diskriminasi dalam berbagai aspek.

Martin Luther King Jr merupakan sosok dibalik kesuksesan gerakan ini, sebagai seorang yang berkulit hitam, Martin pun mengalami berbagai diskriminasi sejak dia kecil. Hal keji itu membuatnya bertekad untuk mengubah dunia agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap masyarakat berkulit hitam. Perjuangan itu membuatnya menerima Penghargaan Nobel Perdamaian pada 1964. Beliau yang juga seorang pendeta mendedikasikan dirinya untuk memperjuangkan hak asasi manusia, khususnya untuk orang berkulit hitam. Tujuannya adalah untuk memperjuangkan hak-hak orang kulit hitam untuk disamaratakan dalam undang-undang serta tradisi menyimpang yang membatasi hak-hak warga berkulit hitam seperti sedia kala.

Namun, masih banyak kasus kekerasan kepada kaum Afrika-Amerika dalam berbagai bentuk seperti penembakan, penghinaan, dan ketidakadilan di mata hukum yang sampai sekarang masih kerap terjadi. Salah satunya tragedi tewasnya George Floyd oleh polisi bernama Derek Chauvin pada 25 Mei 2020 lalu yang menyebar ke seluruh dunia membuktikan bahwa permasalahan rasial di Amerika Serikat sejatinya belum benar-benar tuntas.

Semakin meningkatnya rasisme kepada orang kulit hitam begitu terasa setelah dari periode Martin Luther King bahkan dengan penyiksaan dan perlakuan buruk. Dilansir dari Amnesty, setiap satu juta populasi orang kulit hitam, ada 30 orang tewas ditembak polisi. Jumlah ini timpang dengan statistik yang menyatakan dalam setiap satu juta populasi orang kulit putih, 12 orang tewas ditembak polisi. Data ini mengindikasikan dugaan rasisme atau diskriminasi terhadap orang berkulit hitam.

                           Sumber foto: https://www.amnesty.id/rasisme-dan-ham/

Lalu, Bagaimana Rasisme dan Diskriminasi di Indonesia?

Tidak hanya di Amerika, kasus dari rasisme dan diskriminasi dengan beralasan “berbeda” menjadi tolak ukur tindakan tanpa memanusiakan manusia. Seperti karena adanya perbedaan ras, adat, budaya berarti harus menghalangi kaum minoritas.

Melansir dari Tirto, Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menegaskan memang “ada kemiripan” antara kasus George Floyd dan orang Papua di Indonesia, yaitu sama-sama menjadi korban rasisme sistemik.

Untuk itu, mari lihat beberapa rangkaian kasus besar yang telah membuktikan rasisme dan diskriminasi ras sangatlah tinggi, diantaranya:

  1. Hinaan Karena Rasisme Dialami Oleh Mahasiswa Papua

Caci maki dan ejekan menjadi makanan sehari-hari mereka yang ingin menempuh pendidikan. Dilansir dari BBC, Erlince Magai mahasiswi yang sedang melanjutkan studi untuk gelar sarjana di Aachen, Jerman pernah mengalami tindakan rasis di Jakarta.

“Waktu saya ke Jakarta liburan bersama sepupu lagi menunggu jemputan pada sore hari di depan pintu keluar Monas, ada seorang anak kecil sekitar lima tahun melihat saya dan berkata “ih ada orang hitam”. Ketika mendengarnya, ia hanya tersenyum. Namun, yang membuat dirinya marah ialah sang ibu dari anak kecil tersebut hanya diam bahkan tertawa. Sehingga ia menyimpulkan bahwa tidak ada pendidikan dini dari sang ibu hingga ia merasakan rasis secara langsung.

  1. Mahasiswa Papua Mendapatkan Diskriminasi di Surabaya

Kasus ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 2019 dan ditandai dengan dugaan perusakan Bendera Merah Putih yang dibuang diselokan depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya oleh oknum tidak bertanggung jawab. 43 mahasiswa dikepung, dimaki, dipersekusi dengan ucapan rasisme dan diancam oleh beberapa oknum pemerintah setempat.

  1. Kekerasan dan Penangkapan dalam Aksi Aliansi Mahasiswa Papua              Terjadi penangkapan tanpa rasa manusiawi terhadap 21 mahasiswa asal Papua dalam aksi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di depan Kampus Universitas Diponegoro Pleburan, Semarang. Kejadian ini disebabkan AMP melakukan unjuk rasa di depan kampusnya pada tanggal 5 Maret 2021. Akibatnya, aksi keji pun dilakukan aparat kepolisian dengan menendang, memukul, merobek, menyita barang bahkan memborgol 3 demonstran. Menyuarakan pendapat diperlakukan seperti melakukan kriminal.Berdasarkan beberapa contoh kasus diatas, begitu terlihat bahwa rasisme adalah masalah yang terus terulang. Korban telah lama merasakan tindakan rasisme tetapi tetap diam seraya dituntut demi persatuan dan keharmonisan. Bentuk hinaan, pelecehan, rasis, diskriminasi bahkan diasingkan membuat warga Papua tidak mendapatkan kenyamanan di negaranya sendiri.

    Rasisme dan diskriminasi memiliki risiko besar dengan hambatan dalam pekerjaan, layanan kesehatan, pendidikan dan lainnya. Perlakuan rasis menimbulkan rasa tidak diterima bahkan tidak dipercaya, sehingga banyak didirikan komunitas agar merasa aman dan tidak sendirian. Walau begitu, perlakuan rasis tidak lepas begitu saja. Perlu adanya kesadaran bahwa perbedaan ras bukan berarti menutup mata dari kelebihan atau kemampuan seseorang.

Diskriminasi dan rasisme harus dilawan agar tidak semakin memakan banyak korban. Seperti yang dikemukakan Martin Luther King dalam pidatonya, bahwa semua manusia diciptakan setara. Semuanya tergantung dari kita semua, apakah kita bisa memaknai kemajemukan yang kita miliki sebagai suatu berkah, atau sebagai suatu musibah.

Kemerdekaan tidak diberikan begitu saja oleh pihak penindas, karena itu sang tertindaslah yang harus memperjuangkannya.Martin Luther King

Sumber:

https://www.amnesty.id/rasisme-dan-ham/

https://www.dw.com/id/diskriminasi-kulit-hitam-di-amerika-serikat/g-18091393

https://yoursay.suara.com/amp/news/2020/06/12/103820/melirik-kepemimpinan-karismatik-martin-luther-king-jr-atasi-rasialisme

https://edukasi.kompas.com/read/2021/08/05/130000271/mengenal-sosok-pejuang-anti-rasis-di-why-people-martin-luther-king-?page=all#page2

https://dp3a.semarangkota.go.id/blog/post/hari-penghapusan-diskriminasi-rasial-sedunia

https://theconversation.com/isu-rasisme-perlu-lebih-banyak-dibahas-di-indonesia-123178

https://jubi.co.id/rasisme-terhadap-orang-papua-yang-terus-berulang/

https://www.lpmdimensi.com/2021/03/rangkuman-kasus-diskriminasi-kelompok-minoritas-di-indonesia/

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-53009570

https://www.lpmdimensi.com/2021/03/rangkuman-kasus-diskriminasi-kelompok-minoritas-di-indonesia/

https://tirto.id/kasus-rasisme-represi-seperti-george-floyd-berulang-di-indonesia-fEB6

https://www.kompasiana.com/abiyyu59785/61d745d1f1ab84698359fc62/kasus-kekerasan-dan-penangkapan-dalam-aksi-aliansi-mahasiswa-papua-amp-05-maret-2021?page=2&page_images=1

Penulis: Raihan Fadilah

Editor: Nabila

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini