Indonesia memiliki hutan paling besar ke-2 di dunia yang menjadikan Indonesia dijuluki paru-paru dunia. Berpusat di Pulau Kalimantan dengan 59,5% luas wilayah hutan dengan keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi. Pulau Kalimantan juga memiliki kelengkapan tempat wisata dari pantai hingga pegunungan yang bisa menjadi nilai tersendiri bagi masyarakatnya.

Tak hanya memiliki beragam tempat wisata, kekayaan hutan yang dimiliki Kalimantan juga menjadi sumber kehidupan bagi kebanyakan makhluk hidup. Kondisi geografis yang dimiliki Indonesia menjadikan negara ini rumah yang tepat bagi tumbuhnya berbagai jenis tumbuhan dan pohon-pohon besar yang menjadi penghasil oksigen terbesar bagi makhluk hidup. Tidak hanya itu, hutan juga berperan sebagai penjaga ekosistem, penopang kehidupan, penyedia air bersih, menurunkan pencemaran udara, serta pengendalian suhu dan kelembapan. Hutan juga menjadi pencegah bencana alam seperti banjir, tanah longsor, hingga tsunami.

Namun, dalam beberapa tahun ke belakang terdapat banyak isu bahwa akan ada pembukaan lahan besar-besaran untuk kebun kelapa sawit pada berbagai pulau di Indonesia. Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit pada akhirnya akan mengonversi kawasan hutan, khususnya pada lahan gambut sehingga akan menyebabkan kerusakan lahan di mana lahan mengalami penurunan produktivitas. Pembakaran lahan pada saat deforestasi juga akan menyebabkan peningkatan emisi karbon yang berakibat meningkatnya intensitas efek gas rumah kaca pada atmosfer. Hal ini membuat panas matahari terperangkap di bumi sehingga kondisi bumi mengalami pemanasan secara global. Jika hal ini terjadi secara terus menerus, akan menyebabkan climate change. Salah satunya di Papua yang merupakan daerah dengan kawasan luas di Indonesia.

Dilansir dari BBC, ada indikasi deforestasi hutan dengan cara pembakaran yang dilakukan oleh perusahaan asing di tanah Papua. Hutan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat Papua secara turun temurun. Suku Mandobo dan Malind yang tinggal di pedalaman Papua, perlahan kehilangan hutan adat yang menjadi tempat mereka bernaung.

“Saya menangis, saya sedih kenapa saya punya hutan, alam Papua yang begini indah, yang tete nenek moyang wariskan untuk kami anak cucu, kami jaga hutan ini dengan baik,” tutur Elisabeth Ndiwaen pada BBC, perempuan Suku Malind yang hutan adatnya di pedalaman Merauke kini telah menjadi perkebunan kelapa sawit.

Pembakaran hutan pun tak luput dari campur tangan para pejabat-pejabat tinggi. Dilansir dari laman resmi Detik, oknum anggota DPRD Kabupaten Soppeng dari Fraksi Gerindra berinisial A ditetapkan menjadi tersangka kasus pembalakan hutan lindung seluas 7 hektare (ha). A jadi tersangka bersama dua orang pekerjanya yang berinisial M dan N. kasus ini berawal dari temuan polisi kehutanan Dinas Kehutanan Soppeng terhadap pembalakan liar di Desa Umpungeng, wilayah Kecamatan Lalabata, Soppeng, pada Desember 2020. Selanjutnya temuan tersebut diteruskan ke pihak Polres Soppeng.

Tidak hanya itu, akhir-akhir ini Indonesia juga sedang dilanda perdebatan proses pemindahan Ibu Kota yang telah resmi ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 15/02/2022 mengenai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara Nusantara di Pulau Kalimantan Timur. Namun bukan berarti proses pemindahan Ibu Kota tanpa adanya perdebatan yang berdampak kepada masyarakat lokal hingga nasional. Dengan adanya pembangunan Ibu Kota baru, sudah pasti akan memiliki dampak serius bagi lingkungan yang akan dijadikan daerah perpindahan tersebut. Mulai dari kualitas air, pengelolaan lahan yang berdampak pada pohon-pohon hutan, polusi, dan lain sebagainya.

Dari hal-hal tersebut banyak yang perlu dikaji kembali terkait pemindahan Ibu Kota. Seperti yang dilansir dari Suara, Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Walhi, Dwi Sawung mengatakan berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) IKN menunjukan setidaknya ada tiga permasalahan, yaitu :

  1. Ancaman terhadap tata air dan resiko perubahan iklim karena sistem hidrologi yang terganggu dan telah ada catatan air tanah yang tidak memadai.
  2. Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) baru mengancam keberlangsungan hidup flora dan fauna, padahal mereka berfungsi menjaga ekosistem.
  3. Pemindahan IKN berdampak pada pencemaran dan kerusakan lingkungan seperti meningkatkan resiko kebakaran hutan, pencemaran minyak, penurunan nutrien pada kawasan pesisir dan laut, lubang tambang yang tidak ditutup mencemari air tanah, hingga menghambat jalur logistik masyarakat.

“Wilayah tangkap air terganggu serta resiko terhadap pencemaran air dan kekeringan, sumber air bersih tidak memadai sepanjang tahun, ketidakmampuan pengelolaan air limbah yang dihasilkan dari IKN dan pendukungnya.” Kata Sawung, Rabu (19/1/2022).

Banyak dari kita merasa biasa saja saat mendengar kabar hutan terbakar karena musim kemarau atau karena kepentingan segelintir orang. Padahal hutanlah yang membuat kita bernafas dengan bebas seperti sekarang ini. Untuk menjaga kelestarian hutan, kita bisa ikut berkontribusi dengan ikut menanam pohon dan menggunakan kendaraan umum untuk mengurangi polusi udara akibat kendaraan. Dengan berbagai masalah ancaman kehutanan yang terjadi di Indonesia, apakah Indonesia tetap bisa dijuluki paru-paru dunia?

 

Penulis : Duta Bimantara Putra

Editor  : Fachri Reza

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini