Standar kecantikan di Indonesia merebak seiring kemajuan teknologi. Masyarakat terjebak dalam stereotip bahwa perempuan yang cantik harus berkulit putih, tubuh tinggi semampai, hidung mancung, bertubuh langsing dan rambut lurus. Standar kecantikan yang tidak realistis ini menciptakan tekanan besar, terutama kepada perempuan dalam kebebasan berekspresi.
Indonesia memiliki ragam suku, budaya, etnis, dan geografis yang menginterpretasikan kecantikan dengan berbeda-beda. Menetapkan satu patokan standar kecantikan sebagai acuan tunggal dapat mengakibatkan diskriminasi dan rasisme terhadap kelompok tertentu.
Dampak Menormalisasikan Standar Kecantikan
Media sangat berperan penting dalam membentuk pola pikir masyarakat Indonesia. Banyaknya tren dengan konsep yang mengobjektifikasi perempuan, membuat perempuan rela berbondong-bondong mempercantik diri. Tidak salah jika perempuan ingin tampil cantik, namun banyak perempuan menempuh jalur ekstrim demi mencapai kecantikan yang dianggap ideal sesuai dengan paradigma media.
Persepsi orang tentang kecantikan berbeda-beda sesuai dengan selera standar mereka. Akan tetapi, media mengemas standar kecantikan ideal yang mempengaruhi masyarakat dan pada akhirnya persepsi kecantikan setiap orang menjadi sama.
Tekanan standar kecantikan membuat orang tidak percaya diri dalam penampilan. Wina dan Shafa selaku narasumber mengatakan bahwa perkataan ejekan penampilan dilontarkan oleh teman-teman semasa bangku SD dan SMP mereka. “aku pas-pasan di kantin, dia tiba-tiba ketawa-tawa sama teman-teman nya kayak ‘HAHAHAHAHA DASAR ITEM’ atau ‘CEWE KOK ITEM BANGET YAA AMPE GA KELIATAN MUKA NYA,’” tutur Wina.
“[ada yang berkata] ‘Sap lu pendek banget sih, boncel-boncel’ kayak gitu, dari situ perkataannya bikin aku jadi gak pede akan hal itu,” ungkap Shafa. Mereka mengobjektifikasikan warna kulit hingga tubuh seseorang untuk dijadikan bahan lelucon dan kepuasan diri.
Standar kecantikan yang dikemas oleh media mampu mempengaruhi semua kalangan bahkan sampai ke ranah perundungan. Ketika seseorang tidak mampu memenuhi standar kecantikan tersebut, mereka dapat kehilangan rasa percaya diri, obsesif terhadap penampilan, dan gangguan kesehatan mental yang bahkan dapat melakukan tindakan menyakiti diri sendiri.
Standar Kecantikan Memperkuat Ketidaksetaraan Gender
Perempuan dihadapkan dengan ekspektasi yang jauh lebih tinggi dan sempit mengenai penampilan serta fisik dibandingkan dengan laki-laki. Tekanan penampilan kriteria tertentu menghambat perempuan dalam mengeksplorasi berbagai bidang. Bahkan, standar kecantikan seringkali mengobjektifikasi perempuan yang memperkuat pandangan bahwa nilai perempuan terletak pada penampilan mereka, bukan pada kualitas atau kemampuan mereka.
Diskriminasi perempuan yang terjadi seperti di tempat kerja dan pendidikan dikarenakan tidak sesuai dengan standar kecantikan dapat memperburuk ketidaksetaraan gender. Pandangan patriarkis yang mengutamakan penampilan fisik daripada kualitas dan kinerja, kerap kali mengalihkan perhatian prestasi dan kemampuan seorang perempuan.
Kecantikan sejati tidak dapat diukur melalui standar yang sempit. Kecantikan sejati muncul dari dalam diri yang memancarkan energi positif dan keyakinan diri. Kemampuan menerima dan mencintai diri sendiri, lengkap dengan segala keunikan dan kekurangan, merupakan arti kecantikan yang sesungguhnya, karena cantik hadirnya dari dalam diri sendiri.
Saatnya perempuan Indonesia sadar untuk meninggalkan standar kecantikan yang umum di masyarakat. Mengakui perbedaan akan keberagaman dapat membangun masyarakat Indonesia lebih terbuka dan mengakui bahwa kecantikan tidak dapat didefinisikan oleh satu perspektif saja, melainkan secara keseluruhan.
Penulis : Sarah Aini Salsabila
Editor: Melody Azelia