Semula, RUU TNI tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Namun, setelah Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, mengirimkan surat kepada Ketua Komisi I DPR pada 7 Februari 2025, RUU ini diselundupkan ke dalam daftar prioritas dan dilakukan pembahasan.

Panitia Kerja (Panja) Revisi UU TNI Komisi I DPR menggelar rapat tertutup di Hotel Fairmont, salah satu hotel mewah di Jakarta Pusat. Pembahasan yang dilakukan secara tertutup bersama pemerintah ini menuai kontroversi dan gelombang kritik dari masyarakat sipil. Pasalnya, proses pembahasan RUU dinilai terlalu terburu-buru, tidak transparan, dan memicu pertanyaan terkait efisiensi anggaran dalam proses legislasi.

Melansir suara.com, Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengatakan revisi UU TNI berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI, yang dinilai berisiko merusak demokrasi dan bahkan bisa mengarah ke negara otoriter.

“Demokrasi itu membutuhkan partisipasi, akuntabilitas, transparansi, salah tiganya gitu. Sedangkan militer itu kan mereka dididikan adalah paradigma penggunaan senjata, komando, dan kekerasan. Mereka punya legitimasi untuk melakukan kekerasan,” ujar Bivitri, Minggu (16/3/2025).

Usulan Draft RUU TNI yang Kontroversial

Dalam revisi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Negara Indonesia (TNI) masih mencakup pasal-pasal bermasalah yang berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI dan memperkuat militerisme dalam ranah sipil.

  1. Pasal 7 ayat (2) terkait operasi militer. TNI memperluas cakupan tugas operasi militer selain perang (OMSP), terlibat dalam ketahanan siber dan pemberantasan narkotika, serta tidak memerlukan persetujuan DPR dalam OMSP.
  2. Pasal 47 ayat (2) terkait penambahan kuota jabatan sipil untuk TNI dari 10 menjadi 16 institusi, termasuk Kementerian Kelautan dan Kejaksaan Agung.
  3. Pasal 53 ayat (1) terkait kenaikan batas usia pensiun TNI hingga 65 tahun untuk prajurit yang menduduki jabatan fungsional, bintara dan tamtama hingga 55 tahun, kolonel hingga 58 tahun, perwira tinggi bintang 1 hingga 60 tahun, perwira tinggi bintang 2 hingga 61 tahun, perwira tinggi bintang 3 hingga 62 tahun, dan perwira tinggi bintang 4 masa dinasnya ditetapkan sesuai dengan kebijakan presiden.

Revisi UU TNI memicu kekhawatiran karena menambah tugas di luar fungsi pertahanan, memperluas jabatan sipil bagi prajurit aktif yang berisiko melemahkan supremasi sipil, serta memperpanjang usia pensiun dapat memperburuk bottleneck karir perwira. Selain itu, kebijakan ini berpotensi membebani keuangan negara yang signifikan untuk membayar gaji pensiunan yang terus bertambah.

Wisata Masa Lalu Dwifungsi ABRI

Pada masa orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, dwifungsi ABRI diresmikan tahun 1969 sampai 1998 yang memberi militer peran ganda, tidak hanya sebagai alat pertahanan negara tetapi juga sebagai aktor politik dan pemerintahan.

Keterlibatan militer dalam politik mempersempit demokrasi, membungkam kritik, dan menekan oposisi melalui sensor, represi, serta kekuatan aparat. Dominasi militer juga menimbulkan pelanggaran HAM yang merajalela, mendorong korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan, di mana kebijakan negara sering menguntungkan elite militer dan kroninya.

Namun, setelah runtuhnya Orde Baru pada 1998, konsep dwifungsi ABRI mulai dihapus sebagai bagian dari agenda reformasi dibawah kepemimpinan Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid. Pemisahan TNI dan Polri pada 1999 mengembalikan supremasi sipil dengan membatasi peran militer dalam pemerintahan dan fokus pada fungsi pertahanan.

Reformasi 1998 seharusnya mengakhiri dwifungsi ABRI, tetapi kemunculan RUU TNI 2025 justru menghadirkan nostalgia dan mengkhianati semangat reformasi. Kembalinya dwifungsi TNI hanya akan membuka jalan bagi militerisme dan memperkuat budaya impunitas.

RUU TNI dan Ancaman Terhadap Kebebasan Pers

Revisi UU TNI yang tengah dibahas bukan sekadar perubahan regulasi, tetapi juga ancaman bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Kebebasan pers, yang selama ini menjadi pilar utama dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas kekuasaan, berpotensi dibungkam. Di balik perluasan peran militer dalam jabatan sipil dan kewenangan di luar sektor pertahanan, tersembunyi bahaya yang lebih besar, yaitu kembalinya pola otoritarianisme yang pernah menjerat Indonesia di masa lalu.

Awalnya, rezim Orde Baru menjanjikan kebebasan pers melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pers. Namun, dalam praktiknya, kebebasan tersebut justru semakin dikekang. Seiring berjalannya waktu, pemerintah semakin memperketat kontrol terhadap media. Catatan sejarah menunjukkan bahwa selama Orde Baru, sekitar 70 surat kabar diberedel, menandakan betapa represifnya penguasa terhadap kebebasan informasi.

Ketika kebebasan pers dibungkam, demokrasi berubah menjadi sekadar ilusi yang dikendalikan oleh segelintir elite. Jika regulasi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali ke era otoritarian, di mana kekuasaan militer tak terbendung dan hak rakyat atas informasi yang jujur serta transparan semakin terkikis.

Penulis: Tim Redaksi LPM Gema Alpas

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini