Dalam beberapa hari terakhir, tren tagar #KaburAjaDulu tengah menjadi perbincangan yang ramai di berbagai platform media sosial. Hal tersebut diduga sebagai bentuk mengekspresikan perasaan masyarakat Indonesia terhadap kondisi ketidakpastian ekonomi, sosial, dan ketidakadilan di dalam negeri. Fenomena ini berkembang bukan hanya sebagai tren sesaat, tetapi juga sebagai refleksi dari kegelisahan yang semakin meluas di kalangan generasi muda.

Pemicu dan Faktor-Faktor Munculnya Tagar #KaburAjaDulu

Tren tagar #KaburAjaDulu awalnya beredar masif di media sosial X dan disertai ajakan para anak muda untuk mencari peluang pendidikan, bekerja, hingga tinggal di luar negeri demi masa depan yang lebih baik.

Melansir dari Kompas.com, Dosen Peneliti Tenaga Kerja di Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB), Dr. Muhammad Yorga Permana, mengidentifikasi bahwa terdapat tiga faktor utama yang mendorong anak muda untuk mencari peluang di luar negeri. Pertama, kebijakan pemerintah dinilai tidak cukup menciptakan lapangan kerja. Kedua, karena meningkatnya kesempatan kerja di luar negeri. “Fenomena ini bukan hal yang baru, tetapi kini menjadi gunung es yang meledak akibat kombinasi angka pengangguran yang tinggi dan akses informasi yang lebih terbuka tentang peluang kerja serta beasiswa luar negeri” jelasnya.

Kemudian, faktor ketiga adalah tentang kesiapan anak muda dalam menghadapi dunia kerja, artinya rasa frustasi akibat persiapan yang belum cukup saat transisi sekolah ke dunia kerja memicu kemarahan terhadap ketidakpastian iklim kerja, seiring dengan tantangan serius yang dihadapi pasar kerja Indonesia saat ini. “Pekerjaan layak di Indonesia sangat terbatas. Angka pengangguran resmi mencapai 7,2 juta orang, tetapi ada yang disebut hidden unemployment yang jumlahnya diperkirakan mencapai 12 – 15 juta orang,” ujar Yorga.

Kemunculan tagar tersebut mencerminkan kegelisahan masyarakat khususnya generasi muda terhadap kondisi negeri sendiri, mulai dari sulitnya mendapatkan pekerjaan hingga ketidakpastian ekonomi. Melansir dari Suarajogja.id, pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga Surabaya, Suko Widodo, mengatakan fenomena #KaburAjaDulu bisa saja muncul di kalangan anak muda Indonesia saat ini karena dipengaruhi oleh sikap semangat kebangsaan yang mulai goyah akibat keresahan mereka terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan peluang kerja di dalam negeri.

Ketimpangan sosial yang signifikan menjadi salah satu pemicu utama munculnya #KaburAjaDulu. Minimnya lapangan kerja, tingginya angka pengangguran, ditambah lagi kebijakan pemerintah yang saat ini dinilai menyusahkan rakyat semakin memperparah ketidakpastian di dalam negeri. Hal tersebut membuat banyak orang merasa memperbaiki kehidupan di dalam negeri sia-sia, sehingga merantau ke luar negeri dianggap pilihan yang lebih menjanjikan.

Antara Peluang, Brain Drain, dan Harapan untuk Negeri

Fenomena #KaburAjaDulu tidak hanya mencerminkan keinginan anak muda untuk mencari peluang di luar negeri, tetapi menimbulkan dampak yang lebih luas. Melansir dari CNBCIndonesia.com, fenomena ini memicu kekhawatiran akan potensi brain drain. Pada 2023, terungkap bahwa hampir 4.000 warga indonesia menerima paspor Singapura antara 2019 dan 2022.

Mengutip dari Liputan6.com, munculnya tren ini membuat Psikolog Anak Seto Mulyadi teringat dengan istilah brain drain yang merujuk pada hijrahnya orang dengan kemampuan tinggi ke negara lain karena tidak terfasilitasi di negaranya. “Saya sering dengar juga istilah brain drain ya, kasus-kasus fenomena kaburnya para intelektual, tokoh-tokoh muda yang energik yang kreatif tapi tidak mendapatkan tempat untuk berkembang. Akhirnya mereka mempertajam kemampuannya ke tempat lain, tapi mereka tetap memiliki nasionalisme yang tinggi sehingga pada saatnya dia akan kembali ke tanah air,” ujar Seto Mulyadi, Sabtu (15/2/2025).

Seto juga menilai, #KaburAjaDulu tak harus selalu dilihat dari sisi negatif, jika ini digunakan sebagai acuan untuk mencari peluang agar sukses maka boleh dilakukan. “Jadi tidak sekadar putus asa terus hanya mengeluh saja, tapi ya sudah, mencari peluang. Ada yang sukses, ada yang bisa, ada yang tidak. Ada juga tokoh-tokoh muda yang tetap di tanah air dengan segala kreativitasnya” ujar Seto.

Namun, sudah saatnya Indonesia perlu menghentikan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak dan membangun kembali harapan dengan mereformasikan sistem ekonomi yang lebih inklusif dan berdampak, membuka akses bagi anak muda untuk berdaya, serta memastikan kebijakan yang menghargai potensi, bukan koneksi.

Subsidi pendidikan harus lebih merata, pasar tenaga kerja lebih terbuka, dan sistem kerja yang adil serta manusiawi harus diterapkan untuk menjaga keseimbangan kehidupan. Saatnya pemerintah berhenti mengabaikan kritik dan mengakui kegagalan kebijakan yang tidak efektif, serta menggantinya dengan langkah perubahan yang nyata, karena generasi digital saat ini sudah cerdas dan tidak tertarik pada retorika kosong.

Penulis: Shalza Bilillah

Editor : Sarah Aini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini