Meski jumlah perempuan yang menyelesaikan pendidikan tinggi terus meningkat, tantangan untuk mendapatkan posisi strategis di dunia kerja masih menjadi kendala besar. Fenomena glass ceiling, penghalang tak kasat mata yang menghambat perempuan mencapai puncak karier menjadi realitas yang memprihatinkan di Indonesia.

Presentase Pendidikan Tinggi Perempuan

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021, presentase perempuan berusia di atas 15 tahun yang memiliki gelar perguruan tinggi mencapat 10,06%, lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang hanya 9,28%. Kesenjangan ini lebih terlihat di daerah perkotaan, di mana 13,51% perempuan telah menyelesaikan pendidikan tinggi, sementara hanya 12,56% laki-laki.

Meskipun semakin banyak perempuan meraih pendidikan tinggi, mereka masih menghadapi tantangan besar dalam memasuki dan berkembang di dunia kerja. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan yang perlu di atasi agar potensi perempuan dapat dimaksimalkan dan kesetaraan gender di tempat kerja terwujud.

Ketimpangan Gender di Dunia Kerja

Melansir data dari Goodstats per Februari 2024, jumlah pekerja laki-laki di Indonesia mencapai 43.598.794, jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pekerja perempuan yang hanya 21.983.670. Ini berarti perempuan hanya mewakili 33,52% dari total tenaga kerja. Situasi ini menunjukkan bahwa meningkatnya pendidikan perempuan, tidak selalu berbanding lurus dengan partisipasi mereka dalam angkatan kerja.

Selain itu, kesenjangan gender juga terlihat dalam hal upah. Data dari BPS menunjukkan bahwa sejak tahun 2015 hingga 2023, laki-laki secara konsisten mendapatkan upah yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Pada tahun 2024, perpedaan upah rapat-rata per jam mencapai 10%, di mana laki-laki menerima gaji lebih besar meskipun perempuan memiliki kualifikasi setara.

Di tingkat manajerial dan eksekutif, tantangan yang dihadapi perempuan semakin jelas. Penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora oleh Ade Nuri Septiana dan Rina Haryati (2023) menunjukkan bahwa kurang dari 40% manager di sektor hospitality di ASEAN diisi oleh perempuan, dan hanya kurang dari 20 yang menjabat sebagai general manager.

Kondisi ini mencerminkan fenomena glass ceiling menghalangi perempuan untuk mencapai puncak karier, meskipun mereka memiliki keterampilan dan kompetensi yang setara dengan laki-laki.

Mendorong Kesetaraan Gender

Fenomena glass ceiling mencerminkan adanya stereoptip dan diskriminasi gender yang masih kuat di dunia kerja. Untuk mengatasinya, diperlukan langkah konkret berupa peningkatan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan di tempat kerja, serta penghapusan bias yang menghambat perempuan mencapai posisi strategis.

Selain itu, penelitian lebih lanjut mengenai faktor penyebab glass ceiling sangat penting untuk memahami hambatan yang dihadapi perempuan dan mencari solusi yang tepat. Tanpa upaya nyata, potensi besar perempuan di Indonesia akan terus terhambat, dan ketimpangan gender akan tetap menjadi masalah yang sulir dipecahkan.

Meskipun data menunjukkan bahwa presentase perempuan dengan gelar pendidikan tinggi saat ini meningkat dan lebih tinggi dari laki-laki, namun hal itu tidak menjamin bahwa perempuan mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki di dunia kerja.  Stigma, streotip, dan diskriminasi yang kental, masih melekat pada para perempuan di dunia pekerjaan.

Dalam dunia profesional, perempuan dianggap tidak bisa menjalankan fungsi manajemen yang setara dengan laki-laki. Selain itu, kasus kekerasan masih sering terjadi kepada para perempuan di lingkungan pekerjaan. Penyediaan fasilitas dan peningkatan kapasitas yang minim menjadi catatan penting yang harus dibenahi untuk membentuk ruang dan lingkungan kerja yang nyaman.

 

Oleh : Dian Ayu Azizah

Editor : Ananda Rizka Riviandini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini