Kebebasan berpendapat di kampus-kampus Indonesia semakin rentan. Terlihat dengan sejumlah kasus yang menunjukkan pengekangan terhadap suara mahasiswa, serta jurnalis atau pers mahasiswa kampus. Berbagai kejadian ini mencerminkan bahwa mimbar akademik yang seharusnya menjadi ruang bebas untuk berdiskusi dan mengemukakan pendapat, kini dibatasi dengan dalih menjaga nama baik institusi.
Salah satu contoh nyata yang mencuri perhatian adalah penangkapan jurnalis kampus dari LPM CAKA Universitas Hasanuddin (Unhas), mereka diintimidasi setelah memberitakan isu-isu yang dianggap sensitif oleh pihak kampus. Penangkapan ini memicu protes di kalangan mahasiswa yang menilai tindakan tersebut sebagai bentuk intimidasi terhadap kebebasan pers mahasiswa di lingkungan kampus.
Kasus lain yang timbul di Unhas adalah pemecatan Alief Gufran, seorang mahasiswa yang dinilai melanggar aturan kampus. Pihak universitas menjelaskan keputusan tersebut bertujuan untuk menegakkan norma kehidupan akademik setelah Alief Gufran tertangkap mengkonsumsi alkohol dan dianggap mencemarkan nama baik kampus.
Namun, Alief Gufran menilai dirinya diperlakukan tidak adil dan mengungkapkan adanya standar ganda dalam penegakan disiplin. Ia membandingkan kasusnya dengan pelaku kekerasan seksual yang hanya menerima sanksi ringan, sementara dirinya langsung dikeluarkan secara tidak hormat.
Kasus serupa terjadi di Universitas Muhammadiyah (UM) Metro, pengekangan berekspresi juga terlihat dari pembekuan salah satu organisasi mahasiswa, Senat Fakultas Hukum UM Metro. Pembekuan tersebut terjadi setelah mereka mengkritik fasilitas kampus. Keputusan ini dinilai sebagai bentuk pembungkaman terhadap suara mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi sebagai sarana kontrol sosial.
Kasus yang dialami Senat FH UM Metro semakin menambah daftar panjang pengekangan kebebasan berpendapat di lingkungan kampus. Decky Afani Hidayat, anggota Senat FH UM Metro beserta rekannya dilaporkan oleh Dekan Fakultas Hukum dengan ancaman UU ITE serta KUHPidana. Pelaporan ini menurutnya sangat disayangkan karena aspirasi yang disampaikan melalui kritik seharusnya dilihat sebagai upaya membangun, bukan dianggap sebagai pelanggaran.
“Saya pribadi merasa bingung mengapa kami berdua sampai dilaporkan, terutama laporan tersebut terkait dengan ancaman UU ITE dan KUHPidana,” tutur Decky mengutip dari Kumparan.com. Ia menekankan bahwa kritik yang disampaikannya bertujuan untuk memperbaiki sistem dan kebijakan kampus demi kepentingan bersama.
Menurut Decky, hak untuk mengkritik adalah bagian yang tak terpisahkan dari hak demokrasi sebagaimana diatur dalam pasal 28E Ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Namun, laporan yang diajukan justru menunjukkan bahwa kebebasan tersebut masih rentan dibatasi di lingkungan kampus.
Peran Mahasiswa sebagai Kontrol Sosial
Mahasiswa, sebagai agen perubahan, memiliki peran dalam menjaga demokrasi dan kebebasan di kampus. Fungsi kontrol sosial ini sering diwujudkan melalui kritik, aksi demonstrasi, dan publikasi oleh pers mahasiswa. Selain itu, peran ini juga didukung oleh Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang salah satu elemennya adalah pengabdian kepada masyarakat, termasuk melalui advokasi isu-isu sosial.
Namun, serangkaian tindakan represif yang menimpa mahasiswa dan jurnalis kampus menunjukan bahwa ruang demokrasi di kampus semakin terbatas. Pengekangan terhadap kebebasan berpendapat tidak hanya menghambat proses pembelajaran, tetapi juga merusak nilai-nilai dasar pendidikan tinggi sebagai ruang kebebasan intelektual.
Tindakan represif tersebut, memunculkan kekhawatiran bahwa kampus semakin jauh dari nilai nilai kebebasan berpendapat yang seharusnya dijunjung tinggi. Banyak pihak menilai, kebijakan yang membungkam suara mahasiswa justru akan memperburuk citra institusi pendidikan tinggi sebagai ruang untuk mengembangkan pemikiran kritis.
Jika kebebasan berpendapat terus dikekang, kampus tidak lagi menjadi tempat pengembangan kritis, melainkan menjadi ruang yang mengekang kreativitas dan aspirasi mahasiswa. Maka dari itu, untuk menjaga integritas pendidikan tinggi, perlu adanya pengawasan ketat terhadap kebijakan kampus yang mengancam kebebasan berekspresi. Kampus harus menjadi tempat yang mendorong keberagaman gagasan, bukan untuk membungkam suara kritis yang menjadi bagian penting dari pembangunan intelektual dan sosial.
Penulis: Shalza Bilillah
Editor: Melody Azelia M