Kasus kekerasan seksual (KS) kembali terjadi di dalam institusi perguruan tinggi, kasus KS kali ini menyeret salah satu kampus negeri di Makassar.

Kasus KS yang menyeret Universitas Hasanuddin (Unhas) rupanya tidak berhenti pada kasus KS saja, melainkan bergulir menjadi kasus kebebasan berekspresi di ruang akademik. Hal ini dibuktikan dengan ditangkapnya 5 jurnalis unit kegiatan mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa Catatan Kaki (LPM Caka) yang membuat Unhas semakin disoroti.

Konflik bermula dari adanya aduan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Firman Saleh, salah satu dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas. Setelah mendapatkan aduan tersebut, pihak kampus memberikan sanksi berupa penonaktifan Firman selama dua semester. Hal inilah yang memicu kemarahan mahasiswa Unhas, sanksi tersebut dinilai kurang tepat dan tidak sesuai dengan desakan mahasiswa, yakni pemecatan permanen terhadap pelaku KS.

Protes Mahasiswa Berujung Intimidasi

Adanya kasus KS yang pelakunya merupakan dosen, memicu amarah mahasiswa hingga terjadinya aksi protes dengan tuntutan utama pemecatan Firman Saleh sebagai dosen Unhas. Sayangnya aksi tersebut mendapatkan intimidasi dari pihak kampus dan aparat keamanan. Setidaknya sebanyak 20 mahasiswa dibawa oleh pihak kampus dengan dalih ‘untuk diamankan’.

“….terus kami dibawa ke rektorat ada 20 mahasiswa yang diambil di FIB saat itu diantaranya 6 perempuan, selebihnya laki-laki,” jelas Nisa, salah satu mahasiswa Unhas yang diwawancarai pada (5/12/2024).

Alih-alih dibebaskan, mahasiswa yang diamankan tersebut kemudian dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa, Nisa juga menjelaskan bahwa mahasiswa yang dipolisikan melewati alur interogasi, pemutaran cctv, penggeledahan hingga penyitaan ponsel.

Intimidasi tersebut tidak berhenti sampai di sana, setelah digeledah dan penyitaan ponsel oleh polisi. Nisa yang merupakan salah satu jurnalis LPM Caka kembali dipersulit, Nisa bersama seorang temannya dituding sebagai pelaku pencemaran nama baik oleh pihak rektorat, “….laporan pencemaran nama baik kepada catatan kaki dan ada satu juga namanya serikat mahasiswa unhas. Kedua akun itu dilaporkan sama Ilham Prawira,” ujar Nisa.

Intimidasi yang terjadi kepada mahasiswa dan LPM Caka di Unhas memperlihatkan bukti nyata dari sempitnya kebebasan berekspresi di ruang akademik. Selain itu, hal tersebut menambah catatan panjang intervensi terhadap kerja-kerja jurnalistik di dalam kampus.

Intimidasi Persma, Pers Kampus Masih Dikekang

Intimidasi yang menimpa teman-teman jurnalis LPM Caka menimbulkan pertanyaan di kalangan pers mahasiswa (Persma), pasalnya intimidasi tersebut datang langsung dari pejabat tertinggi di universitas, alih-alih mendukung kerja jurnalistik pihak rektorat justru memberikan intimidasi berupa permintaan takedown berita, “….pihak rektorat diminta sama rektor untuk take down dulu beritanya. Bahasa-bahasa seperti itulah yang mengganggu kerja jurnalistik yang ada di caka,” ungkap anggota Caka.

Situasi ini memunculkan pertanyaan besar mengenai komitmen Unhas terhadap perlindungan mahasiswa dan penghormatan terhadap nilai-nilai kebebasan berekspresi di lingkungan akademik. LPM Caka juga menambahkan bahwa dengan adanya pelaporan ini, sudah cukup jelas bahwa Unhas tidak menjalani dan tidak mematuhi MoU dari Dewan Pers.

Upaya-upaya yang dilakukan

Hingga saat ini, belum ada mediasi antara rektorat dengan mahasiswa Unhas terkait permasalahan pencemaran nama baik yang dilaporkan. Dikutip dari Suara.com, Direktur Eksekusi LBH Pers, Ade Wahyudin, mengatakan bahwa sebenarnya secara prosedural dan administratif yang dilakukan kepolisian bermasalah. Mulai dari proses penangkapan, penggeledahan ponsel pribadi, hingga intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

Berdasarkan KKJ (Komite Keselamatan Jurnalis) juga mengecam keras tindakan kriminalisasi yang dilakukan rektorat kampus Unhas terhadap UKM Caka ke Kapolrestabes Makassar yang mana berlawanan dengan prinsip jurnalistik dan karya-karya yang dihasilkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) merupakan produk-produk jurnalistik.

Intervensi yang terjadi kepada mahasiswa dan jurnalis LPM Caka di Unhas membuktikan bahwa sempitnya ruang berekspresi di ranah akademik. Hal ini menjadi catatan penting, mengingat kampus merupakan tempat teraman baik dari kekerasan seksual, tempat mendapatkan pendidikan, hingga tempat teraman untuk berekspresi. Maka sudah seharusnya kampus memfasilitasi mahasiswa nya bukan memberikan tekanan intimidasi kepada mahasiswanya.

Penulis : Nofiyanti

Editor : Ananda Rizka Riviandini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini