Perempuan lekat dengan perasaan. Dianggap dominan menggunakan rasa dalam memahami setiap perjalanan kehidupan. Lembutnya akan selalu terpancar pada hal-hal yang disentuh. Meskipun bagi saya, tetap semuanya bersifat relatif dan subjektif. Lagipula, bukan hanya perempuan yang punya perasaan, kan? Saya yakin laki-laki juga.
Stereotipe di atas sayangnya banyak dimaknai sebagai sudut kelemahan. Syukurnya, perempuan saat ini -setidaknya orang-orang di sekitar saya-, perlahan menjadi manusia sadar, menuju utuhnya sebuah realitas kesadaran (mereka pun turut menggiring saya ke arah sana, how blessed I am). Pengolaborasian antara logika dengan perasaan, membuat perempuan justru punya amunisi lebih kuat dalam meniti hidup. Kritis dan detail dalam berpikir, juga mampu memahami manusia, yang tak akan pernah lepas dari dibutuhkannya kemampuan merasakan hal yang sama dengannya.
Ada yang sedang merintis usaha; ada yang pergi ke pelosok daerah untuk menyelesaikan penelitiannya; ada yang belajar memimpin dengan mengisi kursi pemimpin di ranah organisasi; ada yang duduk di kursi kantor; ada yang berekspresi di media kreatif; serta ada pula yang kembali ke dapur, bukan untuk mengamini praktik patriarki, namun di sanalah ia mengekspresikan dirinya pada rasa-rasa di tiap makanan yang disajikan; dan masih banyak lagi.
Diizinkan hidup hingga kini, saya melihat dan paham bahwa semua tentang ruang dan kesempatan. Potensi tidak arti tanpa memberikan kepercayaan untuknya untuk bisa mengembangkan.
Pemaksimalan usaha perempuan untuk bisa menjadi manusia yang menyatu dengan pemenuhan hak-hak berekspresi kembali menyudutkannya. Perempuan yang bersuara dianggap terlalu keras, ribet. Ambisi yang ada malah dianggap sebagai persaingan. Kekritisannya justru ditakuti (karena dianggap ia tidak akan bisa dibohongi lagi, mungkin? Haha). Kalau kata orang, “serba salah kayak lagu Raisa”.
Pertanyaannya sebenarnya gini, pernahkah kalian hidup di dunia dengan mulut dibungkam, ruang dibatasi, kesempatan dihilangkan, dan tak pernah ada kepercayaan? Seakan-akan diberi kehidupan yang “nyaman” karena tidak melakukan apa-apa padahal mematikan. Iya, mematikan, karena dengan itu kehidupan hanya sebatas bernafas, tidak lain dari mayat hidup.
Jangan takut sama perempuan yang sedang berusaha menjadi manusia seutuhnya. Karena, ketakutan itu justru menunjukkan ketidakmampuan kalian dalam mengimbangi ada di balik tembok labelisasi dan pro diskriminasi. Kenapa tidak untuk kita saling berkolaborasi dan saling mengisi tanpa harus ada yang mendominasi?
Well, selamat hari perempuan. Mari kita hidup berdampingan, tanpa saling menjatuhkan.
Penulis: Elvina Lathifa