Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) kembali melaporkan hasil pemantauan angka serangan terhadap Pers. Pemantauan dilakukan melalui pengumpulan peristiwa-peristiwa serangan terhadap Pers yang terekam pemberitaan media ataupun informasi dan pengaduan langsung kepada LBH Pers.
Berdasarkan data yang dihimpun dari LBH Pers sejak 1 Januari hingga 30 Desember 2023, terdapat 87 peristiwa yang memakan 126 korban dengan di antaranya 113 wartawan, 11 media, dan 2 narasumber ketika tengah melakukan kegiatan jurnalistik dan penerbitan laporan berita. Serangan yang dilakukan berbentuk cyber attack, penyerangan secara fisik, ancaman, hingga penyerangan kantor media.
UU No. 40 Tahun 1999 yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi jurnalis, nyatanya tidak sesuai dengan keadaan yang ada, sehingga pelanggaran hukum atau penyerangan terhadap jurnalis kerap kali terulang.
Peristiwa Kerap Berulang dengan Pola yang Tidak Jauh Berbeda
Menurut hasil annual report LBH Pers, 9 laporan diajukan kepada pihak kepolisian dari tahun 2019-2022. 5 di antaranya adalah kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri dan 4 kasus lainnya merupakan kasus penyerangan secara digital yang dialami oleh media. Dari semua kasus yang dilaporkan, hingga saat ini tidak ada penanganan yang jelas dari pihak pemerintah. Kasus-kasus tersebut mayoritas berhenti pada tahap penyidikan, sehingga para pelaku masih bebas berkeliaran.
Layaknya yang dialami oleh jurnalis Tempo di Surabaya, Nurhadi, pada tahun 2021 saat sedang menjalankan tugas redaksi majalah Tempo. Nurhadi yang saat itu sedang mendokumentasikan dan hendak mewawancarai Angin Prayitno Aji, kemudian didatangi oleh dua petugas berbatik dan diinterogasi. Bahkan ponselnya dirampas dan lehernya dipiting oleh petugas. Tidak hanya itu, saat menjalankan proses persidangan, upaya jaksa terlihat sangat minim di mana mereka tidak ekstra dalam menelusuri pelaku. Sehingga pelaku tidak mendapatkan hukuman berat.
Jelang Pemilu 2024, Ancaman Represifitas Meningkat
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tercatat pada tahun 2022 kasus kekerasan yang dialami para jurnalis semakin meningkat.
Di wilayah barat, Fasil, jurnalis Antara News menjadi korban pembacokan di leher dan kepalanya saat meliput keberadaan pengolahan emas ilegal. Dari wilayah tengah, ada jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan seksual pada saat perjalanan pulang usai meliput. Serta, di wilayah timur yang mengalami teror, intimidasi hingga ancaman regulasi yang menyebabkan pembatasan jurnalis asing dan pemadaman internet di Papua.
Kasus-kasus kekerasan terhadap pers terus meningkat setiap tahunnya. Fakta menyatakan bahwa kini kebebasan dan keamanan jurnalis dalam menjalankan profesinya semakin terancam, padahal jurnalis sangat dibutuhkan dalam menyebarkan informasi yang akurat, terlebih terkait pemilu 2024. Namun nyatanya, masih ada kekerasan terhadap jurnalis secara verbal, peretasan data, sampai ancaman.
Seperti yang dialami oleh jurnalis CNN dan Kompas TV ketika meliput diskusi yang diselenggarakan oleh Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) pada 23 Juli 2023 di Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta Pusat. Peristiwa ini bermula dengan keributan massa yang melarang jurnalis untuk meliput diskusi yang diselenggarakan GMPG. Keributan tersebut mengakibatkan penyerangan secara fisik, dihalangi untuk meliput, perusakan alat kerja dan perampasan ponsel.
Berulang kali kasus kekerasan terjadi pada jurnalis dengan pola yang sama termasuk menjelang pemilu tahun ini. Sebab pers menjadi pilar utama demokrasi yang mana bertugas menyebarkan informasi akurat kepada masyarakat terkait perkembangan para calon pemimpin di tahun politik.
Upaya Pemerintah dalam Mengakhiri Kekerasan terhadap Jurnalis
Hadirnya UU No. 40 Tahun 1999 menjadi bukti bahwa pemerintah berupaya melindungi dan menjamin keamanan Pers. Pemerintah menjamin kemerdekaan Pers dan kebebasan dengan tanggung jawab moral serta etika jurnalistik. Oleh karena itu, sudah seharusnya segala tindakan yang dialami jurnalis ketika menjalankan profesinya baik kekerasan fisik, kekerasan seksual, ancaman, penganiayaan, peretasan data hingga perusakan alat kerja patut dikenai sanksi sebagaimana berlaku dalam aturan yang telah ditetapkan dalam pasal-pasal yang berlaku.
Meskipun undang-undang menjadi upaya pemerintah yang penerapannya belum dengan baik dilakukan. Besar harapan, pemilu 2024 menciptakan kedamaian sehingga tidak ada lagi jurnalis yang menjadi korban. Sehingga, dunia Pers dapat menciptakan perubahan sebagaimana tugas dari seorang jurnalis, karena kebebasan Pers merupakan pilar penting dalam mendapatkan informasi.
Sangat menyedihkan apabila jurnalis harus terancam atas haknya sendiri. Melalui adanya masa pemerintahan baru nanti di Indonesia, apakah akan ada perubahan arah, atau malah akan terus tersesat dalam ancaman? Meninggalkan jurnalis terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar?
Penulis : Nofiyanti & Farinda Apriyanti
Editor: Melody Azelia Maharani