Setiap warga negara seharusnya memiliki hak asasi yang dijamin sejak lahir. Dalam Negara Republik Indonesia, hal ini diatur dalam ideologi Pancasila, antara lain pada sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Selain itu, UUD 1945 Pasal 28A–28J juga memuat jaminan perlindungan hak asasi manusia yang melekat pada seluruh warga negara Indonesia. Namun, dalam praktik dan sejarahnya, masih banyak pelanggaran HAM yang tidak kunjung terselesaikan dan menjadi perhatian khusus, mengingat banyak peristiwa yang dianggap sebagai sejarah kelam di Indonesia.

Janji Pemerintah yang Belum Terselesaikan

Deretan kasus pelanggaran HAM di Indonesia kerap dianaktirikan dan dibiarkan tanpa penyelesaian. Salah satunya tampak pada era Presiden ketujuh, Joko Widodo. Dalam kampanye pemilihan presiden (pilpres), ia menyampaikan janji yang dituangkan dalam visi, misi, dan agenda prioritas Nawa Cita, yakni berkomitmen menyelesaikan secara adil kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi beban sosial politik bangsa. Namun, sejumlah kasus pelanggaran HAM tidak juga tuntas, mulai dari peristiwa 1965–1966, penembakan misterius 1982–1985, Talangsari 1989, RumohGeudong dan Pos Sattis 1989, penghilangan orang secara paksa 1997–1998, kerusuhan Mei 1998, penembakan mahasiswa Trisakti dan Semanggi I–II 1998–1999, pembunuhan dukun santet 1998–1999, peristiwa Simpang KKA, Wasior di Papua 2001–2002, Wamena di Papua 2003, hingga peristiwa Jambo Keupok di Aceh 2003.

Janji penyelesaian sempat diwujudkan dalam pembentukan berbagai tim untuk menangani pelanggaran HAM. Dilansir dari Tirto.id, berdasarkan catatan KontraS, terdapat tujuh tim yang pernah dibentuk pada era Jokowi: Tim Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu 2016, Komite Gabungan Pengungkap Kebenaran dan Rekonsiliasi (Agustus 2015–2016), Tim Gabungan Terpadu untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di bawah kewenangan Kemenko Polhukam 2016, Dewan Kerukunan Nasional (2018), Tim Terpadu Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Berat yang menjadi pelopor Deklarasi Damai Talangsari 2019, Tim Terpadu Kemenko Polhukam(2019), dan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat pada 2022. Dari deretan tim tersebut, Jokowi menutup masa kepresidenannya dengan pengakuan dan penyesalan atas 12 pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia, alih-alih menuntaskannya melalui pengadilan dengan menyeret para terduga pelaku ke meja hijau. Hal ini tidak mengherankan, mengingat dalam lingkaran kekuasaannya terdapat sejumlah pejabat purnawirawan yang namanya kerap disebut dalam berbagai peristiwa pelanggaran HAM.

Potret Pelanggaran HAM dan Pembungkaman Hak Bersuara

Pelanggaran HAM yang terjadi tidak berhenti pada kenangan kelam masa lalu. Hingga kini, kasus pelanggaran HAM masih banyak ditemukan, salah satunya saat aksi unjuk rasa atau demonstrasi berlangsung. Sering kali penangkapan yang dilakukan aparat terhadap massa aksi melebihi batas prosedur yang semestinya. Hal tersebut tampak, misalnya, dalam rentetan aksi demonstrasi di berbagai daerah pada 25 Agustus–1 September 2025. Mengutip Kompas.com, berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tercatat setidaknya 3.337 orang ditangkap, 1.042 orang luka-luka, dan 10 orang meninggal dunia selama aksi demonstrasi berlangsung. Angka-angka tersebut menjadi bukti memprihatinkan bahwa tindakan aparat dalam mengawal unjuk rasa telah melampaui batas.

Pembungkaman tidak hanya terjadi di jalanan, tetapi juga di ruang digital. Salah satu contohnya dialami Laras Faizati Khairunnisa, yang ditangkap atas tuduhan provokasi di media sosial. Ia diduga membuat dan mengunggah konten berisi hasutan untuk membakar gedung Mabes Polri melalui akun Instagram pribadinya. Kasus ini menimbulkan kejanggalan karena kepolisian dinilai langsung menetapkan Laras sebagai tersangka tanpa proses yang transparan, dengan alasan situasi yang dianggap genting sehingga penetapan tersangka harus dipercepat. Prosedur yang tergesa-gesa tersebut memunculkan pertanyaan mengenai akuntabilitas dan keterbukaan penegakan hukum.

Pelanggaran lain yang sering diadukan dan belum terselesaikan secara tuntas juga tampak dalam konflik agraria. Berdasarkan laporan Komnas HAM dalam tiga tahun terakhir, terdapat sekitar 1.737 aduan terkait konflik agraria. Konflik tersebut meliputi berbagai sektor seperti lahan, perkebunan, infrastruktur, perumahan, kehutanan, hingga pertambangan. Akibatnya, masyarakat kerap menjadi korban kriminalisasi dan sering terlibat pertikaian dengan aparat keamanan.

Hak Sehari-hari yang Sering Terabaikan

Dengan tema “Human Rights, Our Everyday Essentials” pada peringatan Hari HAM Sedunia 2025, dunia menekankan kembali hak-hak manusia yang kerap terabaikan. Hak-hak tersebut sering tersembunyi dalam kebutuhan dasar yang seharusnya mudah dipenuhi: hak atas air dan udara bersih, hak merasa aman, hak memperoleh pelayanan publik yang layak. Semua itu adalah kebutuhan sehari-hari, tetapi masih sulit diakses banyak warga.

Tema dan peringatan Hari HAM Sedunia tidak seharusnya berhenti sebagai seremonial tahunan. Peringatan ini mesti menjadi desakan nyata kepada negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warga negara karena mereka adalah manusia, bukan sekadar objek kebijakan. Selama hak-hak kecil terus diabaikan, suara masyarakat dibungkam, dan nyawa manusia dipertaruhkan, maka HAM sesungguhnya tidak hadir dalam kehidupan sehari-hari, padahal ia seharusnya melekat dan tidak boleh dirampas oleh siapa pun.

Jika hak-hak kecil saja tidak dapat dipenuhi, bukankah itu bukti nyata bahwa komitmen terhadap HAM sekadar omong kosong di ujung lidah kekuasaan?

Oleh: Krisna Ilyas Pahlevi & Nofiyanti

Editor: Ananda Rizka

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini