Agama telah lama menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sayangnya, agama tidak hanya sebagai pedoman hidup saja, tetapi turut dijadikan sebagai objek komersialisasi.

Fenomena komodifikasi agama ini, terlihat dengan maraknya barang dan jasa yang dikaitkan dengan simbol atau doa keagamaan yang laris di pasaran. Abdul Gaffar Karim, dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, menyebutkan bahwa ‘agama adalah identitas manusia yang paling mudah dijual.’ Pernyataan tersebut disampaikan dalam diskusi bertajuk Agama, Komodifikasi, dan Kekuasaan yang berlangsung di lobi MAP FISIPOL UGM pada Selasa (8/5/18).

Keberadaan agama ada untuk memberikan petunjuk bagi umat manusia. Namun, ada saja oknum yang menyelewengkan agama untuk hal-hal yang tidak dianjurkan. Salah satu contoh yang mencolok adalah adanya harga barang yang awalnya murah, bisa melonjak drastis hanya dengan tambahan embel-embel doa atau simbol agama. Seperti, air mineral yang seharga Rp 5.000 bisa dijual seharga ratusan ribu hingga jutaan jika ditambahkan dengan doa dari seorang pemuka agama. Fenomena ini menggambarkan bagaimana agama dikomodifikasi dan dimanfaatkan untuk kepentingan komersial.

Larisnya Jualan Agama di Indonesia

Komodifikasi agama di Indonesia terjadi karena masyarakat memiliki kebutuhan spiritual yang tinggi di tengah tekanan hidup. Fanatisme agama dan keyakinan akan kekuatan simbolis menjadi bahan bakar bagi tren ini. Selain itu, rendahnya literasi keagamaan membuat masyarakat lebih mudah mempercayai klaim yang tidak rasional namun dibalut dengan keimanan.

Seiring dengan meningkatnya fanatisme agama, para oknum-oknum penipu tersebut melihat peluang besar untuk mengeksploitasi ketidaktahuan dan kecenderungan ini, menjadikan agama sebagai komoditas yang menguntungkan. Agama, yang seharusnya menjadi sumber spiritualitas, kini sering kali diperdagangkan dengan memanfaatkan fanatisme para pengikutnya.

Seperti yang diungkapkan oleh Guru Gembul dalam kanal YouTube Kasisolusi pada 20 April 2024, ia membongkar modus bisnis berkedok agama yang bertujuan memperkaya diri. Menurutnya, pelaku modus ini sering kali adalah orang yang mengaku sebagai pemuka agama. Bisnis tersebut mencakup praktik menjual air berselawat hingga bisnis makam palsu atau ziarah yang asal-usulnya tidak jelas.

Bisnis berkedok agama ini adalah contoh nyata dari bagaimana seseorang atau kelompok bisa mengeksploitasi ketidaktahuan masyarakat dengan menjual produk atau jasa yang dibalut dengan label agama seperti yang pernah diungkapkan oleh filsuf Islam, Ibnu Rushd, melalui sebuah kutipan yang dibagikan dalam cuitan oleh Adipati Teguh pada 26 Oktober 2016: “Jika kau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala sesuatu yang batil dengan kemasan agama”. Kalimat ini menggambarkan betapa mudahnya untuk memanipulasi orang dengan kemasan agama, yang sering kali terbukti laris di Indonesia.

Komodifikasi Agama dari Tarif Gus-Gus hingga banyaknya produk berlabel Doa di E-commerce

Fenomena komodifikasi agama ini semakin nyata dengan maraknya barang dan jasa yang dikaitkan dengan simbol atau doa keagamaan yang laris di pasaran. Dari tokoh agama yang memasang tarif untuk ceramah, hingga produk seperti garam rukyah, madu ruqiyah, dan air doa pembuka indra, semuanya menjadi bagian dari industri spiritual yang berkembang pesat. Bahkan, produk-produk tersebut mudah ditemukan di e-commerce, lengkap dengan ulasan pelanggan yang penuh dengan harapan dan doa.

Salah satu komentar pada produk madu doa di sebuah platform belanja berbunyi: “Semoga menjadi segala obat lantaran madu doa ini, amin. Insha ALLAH, berharap semua atas izin dan ridho Allah SWT.” Komentar-komentar seperti ini mencerminkan kepercayaan masyarakat terhadap nilai spiritual yang dijanjikan oleh produk tersebut.

Selain itu, fenomena tarif untuk jasa keagamaan juga menarik perhatian. Beberapa tokoh agama, yang dikenal sebagai Gus atau Habib, memasang tarif tertentu untuk ceramah, doa, atau konseling spiritual. Dilansir dari Jabar.tribunnews.com, seorang pendakwah di Indonesia memasang tarif hingga Rp 75 juta hanya untuk memberikan ceramah berdurasi 1,5 jam.

Fenomena ini akhirnya menambah perdebatan mengenai profesionalisme dan komodifikasi agama. Meski praktik ini sering kali dikritik, tidak sedikit yang menganggapnya wajar dengan alasan biaya operasional atau donasi. Namun, pertanyaannya adalah, di mana batas antara kontribusi sukarela dan eksploitasi ekonomi atas nama agama?

 

Penulis: Nenden
Editor: Melody Azelia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini