Pers Mahasiswa (persma) atau yang biasa dikenal dengan pers kampus sudah lama berada dalam dilema. Pasalnya Persma bekerja dalam lingkup kejurnalistikan dan mengikuti standar serta kode etik jurnalistik, namun tidak memiliki payung hukum atau kejelasan mengenai keamanan dalam melakukan tugas-tugasnya di lapangan.
Persma seringkali mendapatkan intervensi dan ancaman dari berbagai pihak, seperti pihak luar, atau pihak kampus yang menjadi ancaman terbesar bagi persma itu sendiri. Padahal, jika mengacu kepada UU No 40 tahun 1999, Persma menjadi bagian dari sekelompok individu yang memiliki hak untuk bersuara dan menuangkan gagasan baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
“Jadi kalau membaca undang-undang 40 tahun 1999 kan sebetulnya setiap orang itu boleh ya, memiliki hak kebebasan untuk menuangkan dalam bentuk tulisan atau lisan,” jelas DR. Ninik Rahayu, SH., MS., Ketua Dewan Pers, kepada LPM Gema Alpas, Kamis, (15/02).
Akan tetapi, yang menjadi permasalahan utamanya adalah setiap aktivitas dan pergerakan yang dilakukan oleh persma rentan untuk diintervensi, karena tidak adanya regulasi yang menaungi keamanan dari gerak persma itu sendiri.
Selain itu, gerak persma kerap dibatasi dengan anggapan, bahwa persma bukan termasuk dalam bagian pers profesional atau jurnalis resmi. Melainkan, persma seringkali dianggap sebagai sekelompok mahasiswa biasa yang sedang berpura-pura menjadi ‘jurnalis.’ Padahal, kenyataannya persma merupakan salah satu wujud nyata dari kepedulian mahasiswa sebagai kontrol sosial utama di dalam lingkungan kampus.
Oleh karena itu, gerak persma dalam kedilemaan antara ketidakpastian payung hukum yang belum ada. Akan tetapi, setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya perlindungan hukum terhadap persma hampir mendekati titik terang.
Ninik Rahayu, SH., MS., Ketua Dewan Pers, menyatakan bahwa sampai saat ini proses mengenai kepastian dari perlindungan payung hukum persma telah sampai pada tahap penandatanganan MoU dengan Kemendikbudristek.
“… ya itu alhamdulillah nya sih udah menyetujui MoU nya udah ditandatangani tempo hari. Tetapi memang masih perlu dibuatkan guideline,” jelas Ninik Rahayu.
Dari hasil ditandatanganinya MoU dengan pihak kemendikbudristek, nantinya kampus juga harus turut serta dan bertanggung jawab dalam sistem perlindungan kebebasan.
“Sehingga, kedepan pers kampus itu bentuk perlindungannya dua. Satu, ada pendidikan kompetensi untuk mereka. Jadi kampus bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan kompetensi, termasuk magang dan lain-lain. Kedua, adalah mereka kalau mengalami kerentanan ada sistem perlindungannya. Jadi, kampus bertanggung jawab disitu.” Jelas Ninik Rahayu.
Tidak hanya sampai situ saja, Ninik juga menyampaikan agar upaya yang tengah disusun oleh Dewan Pers diharapkan dapat menjadi sebuah peraturan dan aturan hukum yang jelas, dengan terbentuknya peraturan menteri.
Penulis : Aisha Balqis Salsabila