Permasalahan terkait upaya pembungkaman Pers kian meningkat. Meredupnya kebebasan pers tentunya akan mencederai independensi itu sendiri.
Berbagai ancaman hadir untuk mematikan kemerdekaan pers di Indonesia, beragam upaya mempertahankan bahkan menguatkan pun turut dilakukan oleh peranan Dewan Pers serta institusi pers lainnya.
Limitasi kebebasan pers seolah menjalar pada pembungkaman suara. Gagasan atau pendapat bahkan berita aktual yang dirasa sensitif kerap kali berujung kepada penekanan Pers dan jurnalis, yang turut menjadi korban oleh kelompok berkepentingan dengan mengesampingkan kebenaran.
Mengutip Nuh, dkk (2020) pada jurnal Pers dan Dinamika Politik Indonesia, institusi Pers yang kontra pada politik kerap kali dibayang-bayangi dengan pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), sehingga institusi Pers terpaksa sejalan dengan kepentingan penguasa. Hal ini menyebabkan keterbatasan bersuara, sehingga pers kehilangan fungsinya, yakni untuk menginformasikan, mengedukasi, menghibur, dan menjadi kontrol sosial.
“Kemerdekaan pers di Indonesia sedang tidak baik-baik saja,” ucap Ninik Rahayu selaku Ketua Dewan Pers. Inilah yang menjadi gambaran situasi pers belakangan ini.
Beliau juga menyampaikan bahwa terdapat tiga indikasi mengenai hal di atas, yaitu kondisi kemunduran, stagnasi, dan kemajuan. Dalam hal kemunduran, yakni berasal dari kebijakan yang mengganggu proses partisipasinya. Stagnansi yang dirasakan terjadi pada proses legislasi dan litigasi. Padahal, Dewan Pers sudah meminta adanya pedoman pemberitaan di media siber yang diharmonisasikan dengan UU ITE, namun hal ini tidak mendapatkan sambutan baik. Sementara, adapun indikasi kemajuan karena terbentuknya MoU antara Dewan Pers dengan Kepolisian, juga adanya koordinasi dengan KPU dan Bawaslu menjelang tahun politik.
Kemunduran ini menjadikan represi mengepung jurnalis. Melansir dari Kompas, “Tahun 2022 mencatatkan tantangan untuk kebebasan berekspresi dan kebebasan Pers bertubi-tubi direpresi, baik melalui kekerasan langsung maupun dengan potensi kekerasan melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan,” ujar Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin
Regulasi yang dibuat pun menjadi kekuatan untuk merepresi kebebasan pers di tanah air bahkan dari segala sisi. Seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, UU Perlindungan Data Pribadi terkait peluang kriminalisasi wartawan yang mengungkap rekam jejak kejahatan pejabat publik, serta Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 dengan pasal-pasal pengawasan yang berlebih terhadap penyelenggara sistem elektronik.
Puluhan kasus yang menimpa para jurnalis dan media meningkat sepanjang 2022. Hal ini diperkuat dengan adanya data LBH yang memuat terdapat 51 kekerasan kepada para jurnalis, yang diantaranya dirasakan oleh media, wartawan, aktivis Pers, narasumber, dan Persma. Serta adanya 113 korban baik individu maupun organisasi.
Selain itu, karena adanya kebijakan yang mengkriminalisasikan jurnalis mengakibatkan jatuhnya korban kepada salah satu jurnalis Tabloid Jubi, yaitu Victor Mambor. Ia mendapatkan aksi peneroran berupa ledakan bom rakitan di kediamannya, Kelurahan Angkasa Pura, Kota Jayapura.
Pembungkaman dan intimidasi pada jurnalis juga terjadi di lingkup digital. Peretasan media turut dirasakan oleh berbagai media, salah satunya Konde.co. yang menyebabkan situs media tersebut tidak dapat diakses. Hal ini terjadi setelah memuat berita pelecehan seksual di Kementerian Koperasi dan UKM. Adapun hal serupa yang dirasakan oleh salah satu awak media, yaitu Narasi. Akun pribadi seorang Jurnalis yang bernama Akbar Wijaya berhasil dibobol pada 24 September 2022.
Bermacam tindakan tersebut tidak hanya terjadi kepada jurnalis media utama, tetapi jurnalis kampus atau Pers mahasiswa (Persma) turut mengalami hal serupa. Berbagai ancaman dilayangkan seperti, peretasan, kekerasan, pembekuan, hingga drop out (DO).
Persma Poros, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta diancam pembekuan karena mengkritik pembangun Fakultas Kedokteran. Hal serupa juga dialami Persma IAIN Ambon yang pernah mendapatkan kekerasan serta pembekuan oleh pihak rektorat karena mengungkapkan kekerasan seksual di kampus.
Kasus DO pernah menimpa mahasiswa Universitas Lancang Kuning (Unilak), yakni Cep Permana Galih, George Tirta, dan Cornelius Laia. SK DO dikeluarkan oleh Rektor Unilak akibat ketiganya mengungkap penjualan skripsi dan penebangan pohon ilegal yang dilakukan Rektor Unilak.
Jika ditinjau kembali, nyatanya tindakan represi ini merupakan buntut dari permasalahan atas jaminan perlindungan untuk persma yang membutuhkan payung hukum. Terlebih, aktor utama sebagai penghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah birokrat kampus.
Ninik pun menyampaikan bahwa Persma merupakan bagian penting yang hingga saat ini belum mendapatkan porsi perlindungan, dari institusi Dewan Pers maupun keterbatasan undang-undang hingga kebijakan dari masing-masing kampus.
Tingginya jerat represi terhadap jurnalis mengakibatkan terhimpitnya ruang kebebasan pers. Terlepas dari adanya Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, kebebasan Pers di Indonesia masih jauh dari harapan. Tindak kekerasan selalu menjadi jalan pintas demi menutupi kebohongan. Keberanian akan mengungkapkan kebenaran perlahan terbelenggu karena ancaman mematikan kerap menghantui.
“Impunitas terhadap pelaku adalah tanda bahaya yang perlu disebarluaskan. Terlalu banyak jurnalis yang membayar mahalnya harga sebuah kebenaran. Padahal, dunia sedang butuh fakta dan independensi mereka,”
– Audrey Azoulay
(laman; barisan.co)
Penulis: Dwi Nugroho Gustiano & Nabila
Editor: Tim Editor
Sumber:
https://barisan.co/menjadi-insan-pers-bersikutat-dalam-bahaya-represi-pembunuhan/
http://www.marhaenpress.com/2022/05/pers-mahasiswa-kembali-mengalami.html
https://www.persma.id/elegi-pers-mahasiswa-hujan-represi-tanpa-payung-regulasi-2/
https://lpmprogress.com/post/bagaimana-masa-depan-kebebasan-akademik-dan-pers
https://persmaporos.com/represi-masih-mendominasi-pers-mahasiswa-butuh-perlindungan-hukum/
https://www.aspirasionline.com/category/kabar-kampus/lintas-kampus/
https://www.its.ac.id/news/2022/12/30/limitasi-kebebasan-pers-limitasi-kebebasan-bersuara/
https://lbhpers.org/lbh-pers-merilis-annual-report-tahun-2022-jurnalisme-dalam-kepungan-represi/
https://tirto.id/tantangan-jurnalis-di-tengah-pergeseran-upaya-pembungkaman-pers-gA3G