Deretan kasus yang menerpa Kepolisian Republik Indonesia (Polri) beberapa waktu terakhir membuat tingkat kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum satu ini menurun drastis.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) melaporkan bahwa tingkat kepecayaan publik terhadap Polri pada 6-10 Oktober 2022 menunjukan penurunan sebesar 2% poin dari 72% menjadi 70% pada Agustus 2022 dan kemudian anjlok hingga 17% poin menjadi 53% pada Oktober 2022.
Sumber: dataindonesia.id
Menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap Polri disebabkan oleh terkuaknya kasus pembunuhan berencana oleh Ferdy Sambo, peredaran narkoba oleh Tedy Minahasa dan tragedi Kanjuruhan yang memakan ratusan korban jiwa.
Mata publik tertuju kepada institusi ini akibat realita yang tak sesuai dari kewajiban. Alih-alih menjadi pelindung, justru masyarakat digemparkan dengan kemunculan berbagai kasus yang di dalangi ulah polisi.
- Penyamaran Hingga Peredaran Narkoba
Sumber: purwokerto.inews.id
Kasus terbaru menerpa salah satu anggota kepolisian Iptu Umbaran Wibowo yang bertugas sebagai Intelijen Khusus (Intelsus) Polda Jateng. Terbukti melakukan penyamaran sebagai wartawan selama 14 tahun dan menjadi kontributor Stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Tindakan ini menuai kecaman dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers karena polisi dinilai menempuh cara kotor dengan menyusup sebagai anggota pers dan upaya memata-matai yang dapat menimbulkan kepercayaan publik melingsir kepada lembaga pers.
Dalam kasus ini Iptu Umbaran dan Polri melakukan penyalahgunaan profesi wartawan untuk mengambil keuntungan atas informasi yang diperoleh. Polri juga dinilai telah mengabaikan hak kemerdekaan dan kebebasan pers dengan melakukan penyusupan.
Tidak hanya tindakan kotor penyusupan, tertangkapnya Irjen Teddy Minahasa dalam kasus peredaran narkotika jenis sabu-sabu. Dirinya menjadi tersangka tepat setelah empat hari menjadi Kapolda Jawa Timur.
Terungkapnya kasus ini berawal dari laporan masyarakat terkait adanya jaringan peredaran gelap narkoba dan tidak disangka bahwa seorang pengedar berasal dari salah satu personil Polri.
Tentunya masyarakat mempertanyakan kinerja dan indikator diangkatnya anggota kepolisian dengan jabatan yang tinggi. Apakah penelusuran latar belakang hanya dilakukan kepada rakyat kecil? Apakah previllege semakin terasa pada lembaga pemerintah?
Melansir dari Ombudsman, “Kepolisian sebagai penegak hukum, semestinya dapat memberikan contoh yang baik kepada masyarakat mengenai ketaatan kepada hukum. Tetapi fakta yang terjadi malah sebaliknya, beberapa anggota Polri terlibat dalam pelanggaran hukum. Hal tersebut tentu saja menimbulkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi Kepolisian,” ujar Johanes di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (18/10/2022).
Teddy ditetapkan sebagai tersangka setelah dilakukan pemeriksaan pada Kamis, 13 Oktober 2022. Ia dijerat dengan Pasal 114 Ayat 2, subsider Pasal 112 Ayat 2, juncto Pasal 132 Ayat 1 dan juncto Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan ancaman hukuman maksimal hukuman mati dan hukuman minimal 20 tahun serta dicabut dari jabatannya.
- Kekerasan dan Pelecehan Terhadap Jurnalis
Sumber: aji.or.id
Menjadi bagian dari pilar keempat demokrasi, tentunya pekerjaan sebagai jurnalis bukanlah hal yang mudah. Berbagai rintangan seringkali ditemukan dari situasi, peretasan, penculikan hingga pelecehan dan kekerasan.
Ika Ningtyas selaku Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyampaikan bahwa “Kejahatan jurnalis menurut catatan AJI dari tahun 2006 hingga Oktober 2022 ada 201 anggota kepolisian menjadi pelaku yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap jurnalis dan hanya satu kasus yang berhasil dibawa sampai ke pengadilan itu pun dengan vonis yang rendah.”
Pelecehan secara verbal maupun non verbal kerap dilakukan. Pelecehan verbal terjadi pada Elfira Halifa, jurnalis perempuan dari Surat Kabar Cenderawasih Pos. Kejadian terjadi saat ia ingin meliput siding perdana Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Yeimo di Pengadilan Negeri Jayapura pada 21 Februari 2022.
Melansir dari kabarpapua, Elfira diteriaki seseorang yang diduga massa Victor Yeimo yang sedang berkumpul di depan Pengadilan dengan teriakan “sini, sa perkosa ko (sini saya perkosa kamu)” dan juga dirinya tidak bisa memasuki pengadilan tersebut. Dengan itu korban melaporkan hal tersebut agar ada efek jera bagi pelaku pelecehan seksual. Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), LBH Pers, AJI Jayapura dan Surat Kabar Cenderawasih turut membantu dalam upaya mengutuk perbuatan melecehkan jurnalis perempuan yang sedang menjalankan tugasnya.
Melakukan pelecehan profesi kepada jurnalis wanita juga terjadi. Salah satu oknum Polsek Kembangan melakukan pelecehan profesi kepada seorang jurnalis Wanita yang hendak meminta konfirmasi terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Melansir dari mediacakra, oknum tersebut bukannya memberikan penjelasan mengenai kasus, melainkan meminta wartawan berbicara dengan pohon.
Tindak kekerasan juga kian dilakukan dengan pola yang teratur oleh aparat kepolisian kepada jurnalis yang sedang meliput unjuk rasa atau suatu kasus. Hal yang selalu dilakukan adalah mengintimidasi, merusak alat liputan, penggeledahan tas dan diri jurnalis dan menghapus paksa hasil liputan. Tindakan tersebut tentunya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan pasal perempasan atau pengancaman dalam KUHP.
Tidak hanya itu, beragam kasus pelecehan dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang dilaporkan secara hukum seperti tidak ada kelanjutan. Beragam laporan mandek di polisi, seperti kasus yang sudah terjadi dua tahun lalu pada jurnalis LKBN Kantor Berita Antara, M. Darwin Fatir. Berdasarkan informasi mediasulsel, tanda-tanda penyelesaian tak kunjung terlihat, padahal penyidik Polda Sulawesi Selatan telah menetapkan empat tersangka.
- Tindakan Represif Aparat Kepolisian
Sumber: football5star.com
Aparat kepolisian seringkali melakukan tindak represif terhadap masyarakat, khususnya saat adanya aksi unjuk rasa. Seperti yang dialami oleh Gerakan Mahasiswa Pemerhati Pertambangan (GMPP) yang sedang melakukan aksi unjuk rasa di Loanti, Sulawesi Selatan.
Dilansir dari Sultranews, GMPP melakukan upaya penolakan terhadap PT. Gerbang Multi Sejahtera (GMS) karena dugaan pencemaran lingkungan di sekitar perairan Laonti. Pada saat massa tengah melakukan aksi protes, personil kepolisian Resort Konawe Selatan melakukan tindak pengamanan unjuk rasa yang melanggar prinsip dan standar hak asasi manusia dengan menembakan sejata api dan menahan sejumlah aktivis mahasiswa.
Represifitas semakin nyata dirasakan. Baru saja terjadi tindakan sewenang-wenang aparat kepolisian kepada mahasiswa dalam aksi Anti RKUHP di Bandung, 15 Desember 2022. Aparat secara anarkis melakukan kekerasan terhadap massa aksi. Pasca demo, puluhan demonstran ditangkap secara ilegal dan merempas HP juga dilakukan.
Banyaknya Kasus Yang Menimpa, Akankah Masyarakat Kembali Percaya?
Aparat kepolisian yang seharusnya menjadi penegak hukum di negeri ini justru malah melakukan hal yang sebaliknya. Kasus demi kasus yang terjadi kerap kali mengundang keresahan di masyarakat dan meragukan kinerja kepolisian untuk menjaga, melindungi menuntaskan dan membenahi.
Jika para penegak hukum tidak bisa diandalkan, jika keamanan negeri sendiri diragukan. Lantas, siapa lagi yang harus kami percaya di negeri ini?
Penulis : Faturahman Sophian
Editor : Aisha Balqis Salsabila
Sumber :
https://www.instagram.com/p/CmL1-sByuux/?igshid=Nzg3NjI1NGI=
https://dataindonesia.id/ragam/detail/survei-lsi-kepercayaan-publik-kepada-polri-anjlok-menjadi-53
https://www.mediasulsel.com/kasus-kekerasan-terhadap-jurnalis-antara-mandek-di-polisi/