Ganja atau mariyuana kerap kali menimbulkan perdebatan, terutama argumen soal legalitasnya untuk digunakan atau tidak. Tak pernah ada kata sepakat apakah tanaman berdaun jari itu termasuk golongan narkotika atau tidak, khususnya di Indonesia. Minggu, 26 Juni 2022 ramai dibicarakan aksi seorang ibu saat Car Free Day di wilayah bundaran HI, Jakarta yang membawa tulisan tentang anaknya yang membutuhkan ganja medis. Serta bentuk tuntutan kepada Mahkamah Konstitusi tentang legalisasi ganja khususnya untuk keperluan medis. Aksinya diunggah dalam postingan beberapa akun media sosial, salah satunya Dwi Pertiwi. Dwi Pertiwi merupakan ibu dari almarhum Musa, anak pemohon uji materi larangan ganja untuk medis, yang meninggal di usia 16 tahun pada Desember 2020 usai berjuang melawan cerebral palsy.
Persoalan mengenai ganja medis ini sebenarnya sudah pernah dibahas pada Sidang Pleno MK secara daring pada bulan Agustus 2021. Dalam sidang tersebut para pemohon yang terdiri dari Dwi Pertiwi (Pemohon I), Santi Warastuti (Pemohon II), Nafiah Murhayanti (Pemohon III), Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI), menguji secara materiil Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan.
Namun, hingga saat ini Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Arianti Anaya mewakili pemerintah mengatakan belum ada bukti manfaat klinis dari penggunaan ganja ataupun minyak ganja untuk pengobatan di Indonesia. Apalagi ditunjang dengan sulitnya pengawasan penggunaan ganja jika dilihat dari letak geografis Indonesia.
Padahal, dalam Pasal 4 huruf a yang menyebutkan Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU Narkotika disebutkan, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga, berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a juncto Pasal 7 UU Narkotika, menyebutkan narkotika dapat digunakan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak atas pelayanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi.
Di samping itu, ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika memberikan peluang dilakukannya penelitian terhadap narkotika Golongan I dengan ketentuan tertentu. Dengan demikian, ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tersebut telah mengakibatkan hilangnya hak para pemohon untuk mendapatkan manfaat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa hasil penelitian tentang manfaat kesehatan dari narkotika Golongan I.
Sementara itu, dilansir dari Berke et al. (2021), ganja saat ini benar-benar legal dan tersedia untuk medis dan rekreasional di dua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu Kanada dan Uruguay. Selain itu, ganja sudah menjadi barang yang legal di 18 negara bagian Amerika dan 37 negara bagian lainnya melegalkan untuk kepentingan medis (medical use). Seperti yang terjadi di New York yang melegalkan ganja untuk para pengguna ganja medis hanyalah mereka yang memiliki penyakit kronis dan terminal, termasuk kanker, HIV/AIDS, parkinson, serta epilepsi.
Dalam bidang medis, obat-obatan yang terbuat dari olahan ganja dikatakan jauh lebih murah dan alami dibandingkan obat berbahan kimia sintetik dari industri farmasi. Hal ini relevan dengan saat ini, 90% obat di Indonesia diproduksi dari bahan baku impor yang mahal. Mengoptimalkan ganja medis tidak hanya digunakan untuk penyembuhan, tetapi juga dapat menjadi alternatif sumber pendapatan negara. Di Indonesia, pemerintah masih melarang penanaman, penggunaan, dan peredaran ganja. Ganja tergolong narkotika Kelas I, yang berarti bahwa ganja tidak dimaksudkan untuk penggunaan kesehatan dan dianggap sangat adiktif bagi penggunanya. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, ganja diyakini memiliki efek berbahaya seperti kecanduan dan perilaku negatif lainnya. Namun mempunyai sisi baik yang masih dipertimbangkan hingga sekarang.
Penulis : Raihan Fadilah, Radisty Sabila Noveira
Editor : Fachri Reza
Sumber:
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17459&menu=2
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160108015916-255-102919/kini-ganja-medis-legal-di-new-york