Tak lama setelah proklamasi dibacakan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, rakyat mulai tahu bahwa Indonesia sudah merdeka. Tak hanya diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta, para seniman juga ikut menyebarkan pesan kemerdekaan melalui poster, gambar di dinding bangunan (mural), dan coretan di gerbong kereta api (grafiti).
Soekarno bersama Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Masykur memanggil para seniman termasuk pelukis Sudjojono dan kawannya Affandi yang sengaja dipanggil dari Bandung. Bukan untuk melarang dan mengancam mural yang dibuat para seniman, para pemimpin Indonesia yang baru merdeka tak mengeluhkan seni tersebut. Mereka membiarkan rakyat mengungkapkan isi hati dan pikirannya melalui media yang tersedia, termasuk mural dan grafiti.
Dilansir dari laman resmi Kompas TV, pelukis Sudjojono menganggap bahwa lukisan adalah bekal untuk mengekspresikan kebenaran yang lebih tinggi. Ia dan kawannya yang mendapat tugas membuat poster tentang semangat kemerdekaan, mulai menebar pesan-pesan kemerdekaan dalam karyanya bersama Chairil Anwar si “binatang jalang.”
Foto-Foto Seni Mural di Awal Kemerdekaan
Tak hanya menghiasi dinding, gerbong kereta, trem, dan truk dengan lukisan yang membawa pesan semangat perjuangan, para seniman juga berkeliling untuk mengadakan pertunjukan. Di manapun mereka singgah, rakyat menyambut hangat. Dalam era perang kemerdekaan, seni telah membangkitkan rakyat untuk bergerak.
Nasib Seniman Masa Kini
Bila dulu keberadaan para seniman disambut hangat dan dihargai bersama dengan karyanya, kini dicekal pemerintah. Mural yang bertebaran di dinding dihapus aparat kepolisian karena berisi kritikan terhadap pemerintah dan pembuatnya ditangkap. Padahal, mural yang banyak dijumpai adalah salah satu bentuk ekspresi dari keresahan atas penanganan pandemi saat ini.
Dilansir dari Republika, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar menganggap bahwa tindakan tersebut mengancam kebebasan sipil dalam berpendapat.
Salah satu mural yang dihapus terdapat di Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur yang menggambarkan karakter dua ekor hewan menyerupai kucing dengan dibubuhi tulisan “Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit”.
Penghapusan mural juga terjadi di wilayah lain, salah satunya mural bergambar wajah orang mirip Presiden Joko Widodo yang berada di kawasan Batuceper, Tanggerang yang bertuliskan “404: Not Found”.
Penghapusan mural merupakan bentuk baru represi dan pembungkaman. Dilansir dari CNN Indonesia, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengatakan, “Tindakan aparat menghapus mural kritik sosial itu dalam perspektif demokrasi adalah bentuk baru represi dan pembungkaman yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.”
Komentar lain juga disampaikan Komnas HAM, komisioner Beka Ulung Hapsara yang menyatakan bahwa ada norma dan standar yang bisa jadi panduan untuk mengatur kebebasan berekspresi. “Ada beberapa aspek yang jadi ukuran pembatasan ekspresi seni. Keamanan nasional, keselamatan publik dan ketertiban Umum. Sementara dari kontennya, tidak menyebarkan kebohongan, SARA, ujaran kebencian,” ujarnya.
Menurutnya, selama kebebasan berekspresi –termasuk mural bergambar Presiden Joko Widodo dengan tulisan ‘404: Not Found’ — masih dalam ketentuan-ketentuan di atas, maka tidak dapat dikatakan melanggar.
Fenomena kritik sosial melalui mural menunjukkan tanda-tanda bahwa protes melalui media lain telah banyak dibungkam dan tidak lagi didengar oleh kekuasaan. Kritik sosial melalui mural merupakan ekspresi dari aspirasi rakyat yang tersumbat. Bila dulu kebebasan berpendapat dicekal penjajah, kini oleh negara sendiri. Dengarkan suara rakyat, merdekakan seniman mural di negeri ini. Selamat hari kemerdekaan Indonesia!
Penulis : Mufiidaanaiilaa A.S
Sumber :
https://twitter.com/potretlawas/status/1029386928368439299?s=19
https://www.republika.co.id/berita/qxx9ax485/kontras-penghapusan-mural-mengancam-kebebasan-sipil