Permasalahan yang terjadi dan dialami oleh perempuan kerap kali menjadi persoalan sensitif. Sehingga tidak heran jika keadilan gender terhadapnya masih diperjuangkan.
Bertepatan dengan peringatan International Women’s Day (IWD) pada setiap tanggal 8 Maret, nyatanya kesenjangan para puan masih menjadi permasalahan, khususnya di Indonesia.
Kita tentu menyadari adanya ada keterbatasan gerak pada perempuan dalam lingkup society yang dipicu oleh anggapan bahwa perempuan tidak akan bisa unggul dalam berbagai aspek, sehingga menimbulkan kesenjangan gender.
Komisioner Komisi Nasional (KOMNAS) Perempuan, Theresia Iswarini mengatakan bahwa sempitnya ruang gerak perempuan akan berdampak pada pendidikan dan mobilitas perempuan. “Perlu upaya berbagai pihak untuk memastikan ruang-ruang publik kita itu aman. Kalau tidak akan semakin sempit ruang gerak perempuan dan mereka harus ada di dalam rumah. Konsekuensinya akan panjang, karena informasi dan pendidikan itu sangat bergantung pada mobilitas perempuan,” ungkap Theresia.
Sayangnya, berbagai upaya keberanian untuk mendobrak pintu ketidakadilan justru dianggap sebagai pemberontakan. Padahal, yang sedang diperjuangkan adalah hak hidup seseorang.
Stereotip Gender Memunculkan Ketidaksetaraan
Salah satu hal yang membebankan posisi perempuan adalah stereotip gender. Tanpa kita sadari, hal ini sudah ada sejak kita kecil. Sebagaimana keinginan dan hak perempuan direnggut, dijadikan objek kekerasan, bahkan suara yang disampaikan pun tidak ternilai.
Stigma dan norma sosial yang tidak relevan turut mempengaruhi peran perempuan dalam kehidupan sosial, seperti ekspektasi dan kesempatan akan pendidikan, pekerjaan pun dibatasi bahkan dianggap sebagai konsekuensi yang harus ditanggung seumur hidup.
Melihat mirisnya kehidupan sebagai kaum hawa di Indonesia, ditambahkan kentalnya bias gender pada masyarakat membuat perempuan di mata hukum negeri ini belum kuat. Akibatnya, kondisi ini menjadi kendala utama dalam penanganan kasus yang menimpa perempuan sekalipun ia korbannya.
Kekerasan Berbasis Gender Bentuk Nyata Kriminalisasi Perempuan
Komnas Perempuan mencatat adanya kenaikan pada pengaduan langsung sebanyak 49 kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) dari tahun 2021-2022.
Kenaikan kasus ini ditandai dengan belum adanya kepastian peradilan serta dalih stereotip yang menjadi penghalang dan kaburnya payung hukum untuk mencegah, menangani, dan penghukuman perlakuan kejam terhadap perempuan.
Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, menyampaikan “Tindak diskriminasi terutama terkait stigma sebagai pelanggar hukum dan stereotip gender masih menjadi tantangan utama dalam menangani kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di ranah negara,” jelasnya.
Seperti yang tertera dalam peluncuran Catatan Tahunan (CaTahu) Komnas Perempuan 2023, KBG mencakup kekerasan secara personal, publik, dan negara. Tahun ini CaTahu mencatat adanya lonjakan pengaduan hampir 2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan kasus kekerasan seksual pada ranah publik mengalami ketimpangan akibat terhambatnya penanganan.
Mirisnya, tindak kekerasan tidak hanya dialami oleh penyintas melainkan pihak yang membantu turut merasakan, “kriminalisasi juga masih dihadapi oleh perempuan yang melaporkan kasusnya dan juga dihadapi oleh para perempuan-perempuan pembela HAM,” tutur Andy.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, menjelaskan angka kekerasan yang berhadapan langsung dengan hukum pada perempuan di tahun 2022 meningkat, kemudian diikuti dengan konflik SDA dan tata ruang, tindakan pejabat negara, penggusuran, hingga konflik agraria serta kebijakan praktik diskriminatif terhadap perempuan.
Meskipun terdapat undang-undang yang melindungi, nyatanya kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi masih mendominasi perempuan. Bahkan, pada satu orang perempuan dapat mengalami lebih dari satu jenis kekerasan.
Hal ini terjadi karena diakibatkan oleh UU TPKS yang masih mengikuti aturan turunan dan lambatnya dalam pengimplementasian di kalangan masyarakat maupun aparat penegak hukum yang masih memberikan stigma dan menyalahkan korban. “Sebanyak 1.697 kasus kekerasan berbasis gender dicatatkan pada pengaduan ke Komnas Perempuan, 869 diantaranya terjadi di ranah publik,” tutur Mariana, Komisioner Komnas Perempuan.
Panitera Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung R.I, Dr. Sudharmawati Ningsih, S.H, M.HUM, turut menanggapi bahwa seorang hakim dalam persidangan diwajibkan untuk menggali dan aktif dalam menyampaikan hal-hal yang seharusnya menjadi hak korban, sebagaimana yang tertuang dalam PERMA No.3 Tahun 2017.
Ketimpangan Pendapatan Hingga Jaminan Pekerja Perempuan
Perlindungan akan kekerasan terhadap pekerja perempuan khususnya Pekerja Rumah Tangga (PRT) seakan sirna, karena belum disahkannya Undang-Undang RUU PPRT.
Berbagai kasus telah menimpa para pekerja perempuan baik secara fisik, non fisik hingga pengancaman dalam ranah media. Hal ini tentunya menjadi pertanyaan besar, mengapa belum juga disahkannya RUU PRT, sedangkan sudah sangat jelas para pekerja butuh jaminan, perlindungan dan tentunya aturan yang eksplisit bagi pemberi kerja dan PRT terkait hak dan kewajiban masing-masing.
Melalui ini, diskriminasi dan stigma harus dihapuskan. Sistem hukum yang lebih adil terhadap gender harus dibuat, diterapkan, dan ditegakkan.
Sudah sepatutnya zero tolerance terhadap kekerasan di tempat kerja diterapkan, pastinya dengan jaminan hukum yang nyata. Sebab kekerasan mengatasnamakan gender harus dibantu, ditolong, didampingi bahkan diusut seadil-adilnya.
Untuk itu, Kampanye Hari Perempuan Internasional tahun ini mengusung tema #EmbraceEquity yang berarti #RangkulKesetaraan. Hal tersebut ditujukan kepada setiap insan agar kita menyadari bahwa setiap manusia berhak mendapatkan kesetaraan di dalam setiap unsur kehidupan.
Karena ribuan laporan yang terjadi kepada perempuan merupakan puncak gunung es, belum lagi dengan kasus-kasus yang tidak dilaporkan. Kerja sama harus dilaksanakan secara optimal oleh seluruh pihak agar pemenuhan hak-hak perempuan dapat terpenuhi.
Penulis: Nabila & Ananda Rizka Riviandini
Editor: Aisha Balqis & Melody Azelia
Sumber:
https://www.kompasiana.com/nafisahqurrotulaini0982/6292ea64ce96e51ff3371342/stereotip-gender-sebagai-penyebab-kekerasan-seksual-pada-perempuan
https://www.savethechildren.org/us/charity-stories/how-gender-discrimination-impacts-boys-and-girls
https://www.voaindonesia.com/a/stereotipe-dan-lemahnya-perlindungan-membuat-posisi-perempuan-korban-kekerasan-semakin-lemah-di-mata-hukum-/6737796.html
https://www.dw.com/id/jerman-kebijakan-luar-negeri-feminis/a-64859458
https://theconversation.com/bagaimana-jurnalis-perempuan-memperjuangkan-kesetaraan-gender-antara-jurnalisme-dan-advokasi-149901
https://news.detik.com/berita/d-6598800/hari-perempuan-internasional-2023-tema-dan-sejarah-peringatannya
Hari Perempuan Internasional, 8 Maret, Inilah Tema Kampanyenya
https://www.hukumonline.com/berita/a/partai-buruh-usung-11-isu-jelang-hari-perempuan-internasional-2023-lt6405be716cc4b/
https://bandungbergerak.id/article/detail/15146/iwd-2023-perlindungan-inklusivitas-dan-aksesibilitas-masih-menjadi-persoalan-perempuan
https://www.mpr.go.id/berita/Pertimbangan-Kemanusiaan-Harus-Dikedepankan-dalam-Proses-Legislasi-RUU-PPRT
https://www.bbc.com/indonesia/articles/cq54qxnv2y4o
https://www.kompas.id/baca/opini/2023/02/21/uu-pprt-dan-indonesia-berkeadilan