Pengesahan Terburu-buru, RUU KUHAP Dinilai Membuka Ruang Penyalahgunaan Wewenang

0
378

Koalisi Masyarakat Sipil mengenai Pembaharuan KUHAP menuntut Presiden Republik Indonesia menarik draft RUU KUHAP yang telah disetujui oleh Komisi III DPR dan Pemerintah untuk dibawa ke sidang paripurna pekan depan. Koalisi menilai pembahasan RUU KUHAP penuh manipulasi dan kebohongan oleh DPR, (26/11).

Melansir dari antikorupsi, Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP pada 12-13 November 2025 berlangsung sangat singkat dan tidak membahas pasal-pasal bermasalah secara mendalam. Pemerintah dan Komisi III DPR mempresentasikan beberapa pasal yang diklaim sebagai masukan dari organisasi masyarakat sipil, termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas. Namun, koalisi menyatakan sebagian besar masukan yang diklaim itu tidak akurat dan berbeda substansi dari masukan resmi yang pernah mereka ajukan.

Koalisi menyoroti beberapa pasal bermasalah dalam draft RUU yang memungkinkan aparat penegak hukum memiliki kewenangan luas tanpa pengawasan hakim. Misalnya, operasi undercover buy dan controlled delivery yang sebelumnya khusus untuk tindak pidana narkotika kini dapat diterapkan untuk semua tindak pidana tanpa batasan dan pengawasan (Pasal 16).

Melansir dari Independen.id, Pembahasan super singkat itu mengundang kritik luas dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, yang menilai proses legislasi berlangsung tertutup, tidak substansial, dan bahkan memuat klaim keliru atas nama organisasi masyarakat sipil. 

 

Pasal-Pasar Bermasalah Sengsarakan Rakyat

Dari aspek substansi, pembahasan RUU KUHAP yang super singkat dan tidak substansial ini seperti mengulang apa yang terjadi pada Juli 2025 lalu, sama sekali tidak membahas pasal-pasal bermasalah, pasal karet dan pasal yang menyuburkan praktik penyalahgunaan wewenang sebagaimana yang selalu kami sampaikan berulang-ulang, di antaranya:

1. Semua Bisa Kena Diamankan, Ditangkap, dan Ditahan Tanpa Kejelasan, Bahkan di Tahap Penyelidikan Saat Belum Ada Tindak Pidana. 

Melalui pasal karet dengan dalih mengamankan, khususnya pada tahap penyelidikan yang belum terkonfirmasi ada tidaknya tindak pidana (Pasal 5). Bahkan, jika dibandingkan dengan Pasal 5 KUHAP yang berlaku saat ini, tindakan yang bisa dilakukan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tidak sama sekali diperbolehkan untuk melakukan penahanan. 

Ketentuan ini membuka peluang penindasan, penyalahgunaan kewenangan, dan pelanggaran hak asasi manusia.

2. Semua Bisa Kena Tangkap – Tahan Sewenang – Wenang Tanpa Izin Hakim. 

Upaya Paksa Penangkapan dan Penahanan sebagaimana saat ini membuka lebar ruang kesewenang-wenangan aparat karena tidak ada pengawasan oleh lembaga pengadilan melalui pemeriksaan habeas corpus, serta penyimpangan aturan mengenai masa penangkapan yang terlalu panjang (lebih dari 1×24 jam) dalam undang-undang sektoral di luar KUHAP. 

Aspek penting ini juga sama sekali tidak diperbaiki dalam RUU KUHAP (Pasal 90, 93). Skema ini terang-terangan mendorong penyidik menghindari pengawasan yudisial (Pasal 93 ayat 1). 

3. Semua Bisa Kena Geledah, Sita, Sadap, dan Blokir Menurut Subjektivitas Aparat Tanpa Izin Hakim. 

Upaya Paksa Penggeledahan, Penyitaan, Pemblokiran bisa dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan keadaan mendesak berdasarkan penilaian subjektif aparat (Pasal 105, 112A, 132A). RUU KUHAP juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim dengan dilandaskan pada undang-undang yang bahkan belum terbentuk. 

Akibatnya, negara dapat memasuki ruang-ruang privat (komunikasi dan korespondensi pribadi) dengan semakin leluasa, dengan dalih untuk mengusut tindak pidana namun tidak jelas bagaimana perlindungan terhadap data pribadi yang telah dikuasainya.  

4. Semua Bisa Kena Peras dan Dipaksa Damai dengan Dalih “RJ”, Bahkan di Ruang Gelap Penyelidikan. 

Dalam Pasal 74a RUU KUHAP, dijelaskan bahwa kesepakatan damai antara pelaku dan korban dapat dilaksanakan pada tahapan yang belum dipastikan terdapat tindak pidana (penyelidikan). Hal ini sangat dipertanyakan, bagaimana mungkin belum ada tindak pidana namun sudah ada subjek pelaku dan korban? 

Selain itu, hasil kesepakatan damai yang ditetapkan oleh pengadilan hanya surat penghentian penyidikan, sedangkan penghentian penyelidikan sama sekali tidak dilaporkan ke otoritas manapun (Pasal 79), ini menjadi ruang gelap di penyelidikan. 

RUU KUHAP dinilai gagal menjamin sistem check and balance oleh pengadilan dalam mekanisme keadilan restoratif (Restorative Justice/RJ) karena penetapan hakim untuk penghentian penyidikan hanya akan dianggap stempel, tanpa memandatkan kepada hakim untuk melakukan pemeriksaan secara substansial (judicial scrutiny) dan memberikan opsi menolak untuk menetapkan kesepakatan RJ yang tidak sesuai ketentuan, termasuk jika ada indikasi pemaksaan, pemerasan, atau penyalahgunaan lainnya oleh aparat. (Pasal 78, 79)

5. Semua Bisa dikuasai oleh Polisi dan Bantuan Hukum Dibatasi. 

Semua PPNS dan Penyidik Khusus di letakan di bawah koordinasi Polisi, menjadikan Polri lembaga “super power” dengan kontrol yang sangat besar (Pasal 7 dan Pasal 8). Padahal selama ini, mestinya polisi yang harus diawasi. 

Pasalnya, kepolisian masih memiliki banyak catatan masalah maladministrasi namun juga penyalahgunaan kewenangan, seperti beban tunggakan penyelesaian perkara setiap tahunnya dan belum optimal dalam menindaklanjuti laporan masyarakat untuk mengusut tindak pidana, praktik kriminalisasi dsb. 

6. Semua Penyandang Disabilitas Bisa Tanpa Perlindungan. 

Pasal-pasal dalam RKUHAP  masih bersifat ableistik, karena tidak mewajibkan penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, sehingga proses hukum berpotensi berjalan secara tidak setara dan diskriminatif. 

Lebih jauh, Pasal 137A membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual, dan secara implisit menempatkan keduanya sebagai pihak tanpa kapasitas hukum.

Pasal ini berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan dan pengurungan sewenang-wenang (arbitrary detention), karena penjatuhan sanksi tidak diposisikan sebagai putusan pidana sehingga tidak memiliki standar jelas terkait batas waktu, mekanisme pengawasan, maupun penghentian tindakan. Situasi tersebut membuka ruang praktik koersif dengan dalih penegakan hukum.

7. Semua Bisa Kena, Semua Bisa Jadi Korban, Semua Bisa Direkayasa Jadi Tersangka, dan Semuanya Terjadi karena RKUHAP Dipaksakan Terburu-buru.

RUU KUHAP berlaku tanpa masa transisi, langsung mengikat jutaan aparat dan warga tanpa kesiapan infrastruktur dan pengetahuan mulai 2 Januari 2026. Terdapat lebih dari 10 Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana yang akan dikebut dalam waktu setahun (Pasal 332 dan 334). 

Artinya, potensi kekacauan praktik KUHAP Baru yang diterapkan tanpa adanya peraturan pelaksana akan sangat nyata terjadi setidaknya selama setahun ke depan. Koalisi juga sudah sering menyoroti bahwa kebutuhan mengakomodir perubahan krusial ini  ternyata juga belum diatur secara memadai dalam draft terakhir RUU KUHAP yang diputuskan dalam rapat pengambilan keputusan tingkat satu.

Tuntutan Koalisi Kepada Pemerintah dan DPR

  1. Presiden agar menarik draft RUU KUHAP untuk perbaikan sistem hukum acara yang transparan, akuntabel, dan menghormati hak asasi manusia. bukan justru disusun untuk melindungi kepentingan kekuasaan, institusi / aparat penegak hukum, atau lainnya. 
  2. DPR harus mempublikasikan draf hasil pembahasan dan dokumen masukan dari masyarakat sipil. khususnya hasil Panja per 13 November 2025, serta dokumen masukan pasal-per pasal yang menjadi dasar pembahasan pada rapat Panja pada 12- 13 November 2025. 
  3. Pemerintah dan DPR harus merombak substansi RUU KUHAP sesuai dengan konsep usulan masyarakat sipil.menyusun dan membahas ulang arah konsep perubahan KUHAP yang memperkuat judicial scrutiny dan mekanisme check and balances, sebagaimana usulan konsep-konsep dalam Draf Tandingan RUU KUHAP versi Masyarakat Sipil. 
  4. Pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan yang tidak berdasar dan menyesatkan publik untuk mengejar kebutuhan pemberlakuan KUHP Baru, dengan memburu-buru pengesahan RUU KUHAP yang masih sangat bermasalah. 
  5. Pemerintah dan DPR untuk segera melakukan klarifikasi dan meminta maaf kepada publik secara luas karena telah memberikan kebohongan atas masukan yang diklaim sebagai masukan dari kami untuk melanggengkan praktik legislasi yang buruk dan meloloskan substansi yang bermasalah.

Melansir dari Tempo, Pembahasan RUU KUHAP ini sudah berlangsung sejak Februari 2025, berawal dari keputusan DPR yang menetapkan rancangan undang-undang itu menjadi usul inisiatif mereka. Namun terdapat sederet kejanggalan selama pembahasan tersebut. Koalisi menegaskan bahwa RUU KUHAP yang dipaksakan diberlakukan sejak 2 Januari 2026 tanpa kesiapan infrastruktur dan peraturan pelaksana penuh, akan menimbulkan kekacauan praktik hukum di Indonesia.

Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan RUU KUHAP tidak boleh disahkan dalam bentuk saat ini. Negara wajib memastikan setiap perubahan hukum acara pidana disusun dengan keterbukaan, melibatkan masyarakat sipil, serta menjamin perlindungan hak asasi manusia. Tanpa komitmen terhadap prinsip keadilan dan akuntabilitas, reformasi hukum hanya akan menjadi alat legitimasi kesewenang-wenangan.

 

Oleh: ⁠⁠Demilvi Fatimah Fasya. M

Editor: Ananda

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini