58 tahun silam, Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar, masih menjadi sebuah perbincangan teka-teki peristiwa di Indonesia. Naskah yang dikeluarkan oleh Presiden pertama Ir. Soekarno kepada Letjen Soeharto pada 1966, menjadi mandat untuk memulihkan stabilitas keamanan dan politik nasional yang goyang pasca G30S 1965, serta aksi mahasiswa menuntut Tritura hingga ditolaknya Pidato Nawaksara.
Peristiwa tersebut membuat banyak keraguan, mengingat naskah Supersemar yang keberadaannya hingga saat ini tidak pernah ditemukan.
Benarkah Supersemar sebagai Tanda Pemberian Kekuasaan?
Supersemar sejatinya merupakan surat perintah pengendalian keamanan negara, apabila keadaan kembali aman, maka harus dikembalikan ke Presiden Soekarno. Namun, Soeharto salah menafsirkan dan menjadikan dasar pembubaran PKI diluar wewenang Soekarno atas surat tersebut.
“Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” atau lebih dikenal dengan Jas merah, menjadi pidato Presiden Soekarno dalam membantah tuduhan yang ditujukan kepadanya, bahwa dengan adanya Supersemar sebagai alat pemberian kekuasaan kepada Soeharto.
Soekarno meminta kepada Soeharto untuk segera cabut keputusan pembubaran PKI, tetapi Soeharto menolaknya. Hal tersebut membuat sejarawan Asvi Warman Adam menilai bahwa ada maksud terselubung di dalam Supersemar sebagai alat Soeharto dalam “kudeta merangkak”. Namun, Soeharto membantah tuduhan tersebut.
Dilansir dari surat harian Kompas terbitan 11 Maret 1971, Soeharto mengatakan tidak pernah menganggap Surat Perintah 11 Maret sebagai alat untuk dirinya memperoleh kekuasaan mutlak. Selain itu, Surat Perintah 11 Maret juga bukan alat untuk mengadakab kup terselubung.
Dikutip dari arsip Harian Kompas, Saat itu Soeharto menjabat menjadi presiden mengatakan bahwa Supersemar hanya digunakan untuk “membubarkan PKI dan menegakkan kembali wibawa pemerintahan”.
Mengulik Isi Supersemar yang Beredar di Kalangan Masyarakat diduga Palsu.
Saat ini, terdapat tiga versi Supersemar yang tidak autentik. Versi tersebut dari Sekretariat Negara (Setneg), TNI AD, dan Yayasan Akademi Bangsa.
Beberapa pokok pikiran dari tiga versi tentang isi Supersemar yang diakui oleh Orde Baru dan menjadi acuan dalam pemberian wewenang dari Presiden Soekarno kepada Soeharto.
- Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
- Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.
- Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.
Setelah Letjen Soeharto menerima Supersemar, PKI dibubarkan dan dilarang beserta ormas-ormas yang ikut dengannya di seluruh Indonesia. Supersemar yang diberikan Presiden Soekarno kepada Soeharto mengantarkannya ke dalam kursi Presiden tahun 1967 tepat satu tahun setelah Supersemar dikeluarkan. Masa ini adalah tonggak lahirnya pemerintahan Orde Baru.
Setelah itu, muncul isu pembantahan isi Supersemar yaitu Surat Perintah Tiga Belas Maret 1966 yang dibuat kembali oleh Presiden Soekarno di masa jatuh kekuasaannya. Tetapi, dokumen asli keduanya tetap tidak ditemukan hingga saat ini.
Sayangnya, setelah 58 tahun berlalu, teks atau surat perintah 11 Maret (Supersemar) tak kunjung dapat dibuktikan keasliannya.
Penulis : Sarah Aini Salsabila
Editor : Ananda Rizka Riviandini