Kasus Kekerasan Seksual akan selalu menjadi hal yang selalu diperhatikan, terlebih kasus ini kerap kali terjadi di lingkup yang notabennya terbilang aman, seperti di rumah, pesantren hingga instansi pendidikan. Layaknya yang belum lama terjadi, kekerasan seksual menimpa salah satu pejabat tinggi Universitas Pancasila yang berinisial ETH. Dari data yang ada, korban melaporkan kasus ini kepihak yang berwajib. Langkah yang diambil korban ini menuai pujian dari pihak Komnas (Komisi Nasional) Perempuan.
“Kami mengapresiasi keberanian korban untuk bicara dan melaporkan kasus ini, kami berharap agar kepolisian melakukan penanganan dengan profesional dan memerhatikan aspek keberpihakan pada korban sebagaimana dimandatkan dalam UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ujar Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan, ke LPM Gema Alpas, (25/02/24).
Selain menyatakan apresiasinya terhadap keberanian korban, komisioner Komnas perempuan juga menyebutkan bahwa tidak banyak yang berani melapor kasus kekerasan seksual. Faktor terbanyak dari kasus ini adanya relasi kuasa, sehingga korban enggan atau takut untuk melapor. “Dalam banyak kasus kekerasan seksual relasi kuasa adalah salah satu faktor terjadinya kekerasan seksual. Keterangan korban kerap disangkal dan diragukan, sehingga membuat korban membutuhkan waktu untuk bicara dan melaporkan kasusnya,” tambahnya.
Korban kasus kekerasan seksual sangat rentan untuk diintervensi ataupun mendapatkan intimidasi dari pelaku, tetapi nyatanya tidak hanya pelaku. Terkadang intimidasi itu hadir dari opini publik yang seakan-seakan lempar batu sembunyi tangan. Siapa yang menjadi pelaku, tetapi justru terlihat lebih teraniaya.
Padahal dalam kasus seperti ini, korban jauh sangat rentan akan trauma dan jejak yang ditinggalkan oleh pelaku kekerasan seksual. Jejak ini tidak dapat diukur oleh parameter apapun, karena setiap individu mempunyai trauma dan jejak yang berbeda-beda, termasuk dengan tahap pemulihannya. Jangankan untuk melapor, bahkan untuk sekedar bercerita atau curhat ke anggota keluarga pun, belum tentu dapat mereka lakukan.
Sudah seharusnya korban kekerasan seksual menjadi prioritas utama untuk dijaga keamanan, kenyamanan, hingga diberikan pendampingan rutin untuk pemulihan psikisnya. Komisioner Komnas perempuan turut menyampaikan harapannya agar pihak kepolisian mampu bekerja secara profesional dan mengutamakan aspek keberpihakan, perlindungan, dan pemulihan terhadap korban.
“Korban banyak yang mengalami trauma, sehingga membutuhkan mekanisme pemulihan untuk membuat korban berani bicara dan melapor. Karena itu kami berharap kepolisian dapat mendalami kondisi korban dan melakukan penangan atas kasus tersebut, serta memperhatikan aspek perlindungan dan pemulihan terhadap korban.”
Oleh: Tim Redaksi LPM Gema Alpas