Perempuan dan laki-laki selalu dipisahkan oleh status gender yang umumnya merujuk pada perbedaan peran dan tanggung jawab hubungan sosial. Kata perempuan dan laki-laki menjadi awal patriarki dan standar peran yang tidak berdasar.
Melekatnya budaya patriarki di Indonesia melahirkan diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya pada kaum perempuan. Mirisnya, pemikiran patriarki ini justru tertanam kuat pada kaum perempuan, tak ayal kalimat-kalimat menyakitkan dan menyudutkan justru hadir dari perempuan. Oleh karena itu, pemikiran mengenai patriarki perlu dihilangkan agar kehidupan bermasyarakat berjalan dengan adil.
Kisah menarik hadir dari Prajurit Perempuan Zaman Mataram Islam yang berhasil mematahkan perbedaan peran antar gender.
Prajurit Estri Ladrang Mangungkung, prajurit elit perempuan dengan keahlian bertempur yang tinggi. Prajurit Estri dibentuk oleh Pangeran Sambernyawa pada Tahun 1742 di Kartasura sebagai terobosan dalam konsep dan peranan dalam tradisi Jawa.
Prajurit Estri era Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I dilatih agar dapat menguasai berbagai jenis senjata, berkuda, dan bertempur di medan perang. Mereka juga memiliki keahlian dalam bidang kesenian dan pekerjaan domestik seperti cara bercocok tanam untuk bertahan hidup. Meski dilatih menjadi prajurit tangguh, pasukan ini tidak melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan. Prajurit Estri mampu membuktikan bahwa tidak hanya laki-laki yang dapat menjadi pemimpin, perempuan seperti dirinya pun dapat berperan ganda;
Taktik perang gerilya ala Pangeran Sambernyawa pun diterapkan oleh Prajurit Estri, yakni dhedhemitan (dhedhemitan laksana dhemit) artinya setan yang tak nampak, weweludan artinya seperti belut yang sangat licin dan tidak bisa ditangkap, dan jejemblungan artinya bak orang gila yang tidak memiliki rasa takut.
Senjata yang digunakan pun sangat menarik, berupa tusuk konde (Condroso) untuk menyanggul rambut yang mana memiliki ujung runcing. Digunakan ketika target terlihat lelah sehingga tidak sadar ketika diserang oleh Prajurit Estri.
Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, mengakui kemahiran dan kepiawaian Prajurit Estri dalam menggunakan bedil dengan menunggangi kuda. Perubahan yang dilakukan oleh kelompok Prajurit Estri mampu membuatnya kagum dan percaya bahwa kemampuan tersebut tidak hanya dapat dilakukan oleh kaum laki-laki.
Setelah Pangeran Sambernyawa atau KGPAA Mangkunegara I gugur, keberadaan Prajurit Estri Ladrang Mangungkung tetap dipertahankan. Bahkan tergabung dengan pasukan yang lebih besar untuk dibentuk dan dikembangkan oleh Mangkunegara II tahun 1808, bernama pasukan Legiun Mangkunegaran.
Melansir Okezone.com, dalam sebuah buku yang berjudul “Legiun Mangkunegaran (1808-1942),” menyebutkan pembentukan Legiun Mangkunegaran tidak lepas dari peran Kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte. Tepatnya ketika Perancis menguasai Hindia Belanda.
Legiun Mangkunegaran menjadi kekuatan militer paling modern di Asia, dilihat melalui pertempuran yang telah dilewati. Bermula dari perang Jawa (1825-1830), perang Aceh (1873), menumpas bajak laut di Bangka (1919-1920), serta terlibat dalam pertempuran sengit mempertahankan Jawa dari serangan Jepang tahun 1942. Prajurit Legiun Mangkunegaran mampu bertahan hingga masa kekuasaan Mangkunegaran VII.
Adanya perjuangan Prajurit Estri Ladrang Mangungkung yang menggetarkan Belanda, membuktikan bahwa peran dan tanggung jawab laki-laki dapat dilakukan oleh perempuan. Hal ini membawa inspirasi bagi kaum perempuan, bahwa perempuan layak atas kesempatan, kemajuan dan menentukan pilihan dalam hidup.
Penulis : Sarah Aini Salsabila
Editor : Melody Azelia Maharani
Sumber:
Kisah Prajurit Estri, Pasukan Elit Perempuan Mataram yang Ditakuti Belanda
https://himiespa.feb.ugm.ac.id/patriarki-di-indonesia-budaya-yang-tak-kunjung-lekang/