Setiap tanggal 23 Juli, diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Hal ini sebagai bentuk kepedulian bangsa akan perlindungan anak di Indonesia, dengan harapan dapat tumbuh menjadi penerus bangsa yang sehat dan cerdas.
Peringatan ini dilatarbelakangi oleh Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berisi bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pernyataan terkait pasal tersebut, sekarang ini menjadi pertanyaan. Sebab maraknya kasus kekerasan terhadap anak baik berupa fisik, seksual, penganiayaan emosional, atau pengabaian terhadap anak. Mirisnya, sebagian besar terjadinya kekerasan terhadap anak bertempat di rumah anak itu sendiri. Melansir dari Katadata, kekerasan emosional terjadi pada rentan usia 13-17 tahun yang mana dialami oleh 4 dari 10 anak perempuan dan 3 dari 10 anak laki-laki.
Selain itu, 12 dari 100 anak laki-laki di perkotaan dan 10 dari 100 anak perempuan di perkotaan maupun pedesaan pernah mengalami kekerasan fisik. Kekerasan seksual juga terjadi pada 4 dari 100 anak laki-laki di perkotaan dan 3 dari 100 anak laki-laki di pedesaan, serta 8 dari 100 anak perempuan di perkotaan maupun pedesaan.
Keluarga adalah tempat di mana awal mula pembentukan kematangan individu dan struktur kepribadian dari seorang anak. Anak pastinya akan mengikuti dan mencontoh orang tua dengan berbagai kebiasaan dan perilakunya. Karena masa anak-anak adalah masa di mana anak tumbuh dan berkembang baik secara fisik, intelektual, dan emosional.
Namun, keluarga yang seharusnya memberikan rasa nyaman dan aman bagi setiap anak. Nyatanya berdasarkan catatan hasil pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada tahun 2022, klaster keluarga dan pengasuhan alternatif menempati pengaduan tertinggi kedua, yakni sebanyak 1960 pengaduan. Angka tertinggi pengaduan kasus pelanggaran hak anak ini terjadi pada anak korban pengasuhan bermasalah atau konflik orang tua atau keluarga sebanyak 479 kasus.
Penyebab Terjadinya Kekerasan di Lingkup Keluarga
Menjadi orang tua atau wali, tidak akan pernah mudah. Harus memiliki kesiapan mental yang matang dan baik serta bertanggung jawab penuh atas pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, sedikit banyak orang tua atau wali yang tidak memiliki sikap demikian sehingga mengakibatkan kekerasan terhadap anak secara fisik, verbal, mental bahkan hingga menghilangkan nyawa sang anak. Faktor yang menjadi penyebab kekerasan dalam keluarga sangat beragam baik dari faktor internal maupun eksternal.
- Masa kecil orang tua yang penuh dengan kekerasan
Ketika orang tua yang sebelumnya menjadi anak-anak mengalami kekerasan. Membuat dua kemungkinan bahwa ketika mempunyai anak akan melakukan hal serupa karena merasa kekerasan adalah cara yang tepat atau tidak mengulangi hal yang sama karena tahu itu salah. Kemungkinan inilah yang akan mengulang atau tidak tindak kekerasan terhadap anak-anaknya.
2. Harapan pada anak yang tidak sesuai ekspektasi orang tua
Oregon State University Extension Service mengklaim, bahwa orang tua mungkin akan berubah menjadi kasar ketika anak mereka tidak seperti yang diharapkan. Seperti keinginan orang tua akan anak yang harus disiplin, sopan, dan berprestasi. Ketika anak tidak dapat memposisikan diri menjadi yang diharapkan orang tua, mereka menjadi marah dan berlanjut melakukan tindakan kekerasan.
3. Masalah Finansial
Memiliki anak, membutuhkan biaya yang berkelanjutan. Ketika orang tua mengalami masalah finansial, beberapa orang tua akan merasa bahwa anak adalah beban mereka sehingga terciptalah amarah dan frustasi. Dalam faktor ini, orang tua rentan dalam menyalahgunakan kehadiran anak sehingga kerap berakhir dengan eksploitasi anak agar menghasilkan uang
4. Gangguan emosional
Ketika seseorang memiliki peran sebagai orang tua dan mempunyai masalah kejiwaan, maka kesulitannya menjadi berlipat ganda. Kesulitan dalam menangani masalah kejiwaan dan mengurus anak bisa menciptakan kekerasan terhadap anak.
5. Hubungan tidak sehat antara suami dan istri
Rasa kecewa terhadap salah satu pasangan memiliki pengaruh akan pola asuh yang dilakukan kepada anaknya. Kebencian yang tercipta akibat konflik, menjadikan emosi seseorang tidak stabil dan butuh pelampiasan. Dalam hal ini, anak kerap kali menjadi sasaran rentan orang tua dalam melampiaskan amarahnya.
Dampak yang ditimbulkan atas kekerasan terhadap anak sangat bervariasi dan memiliki efek jangka panjang serta beresiko tinggi untuk mengalami masalah kesehatan mental, masalah sosial, dan masalah perilaku saat anak dewasa. Layaknya kekerasan fisik pada anak yang dilakukan secara terus menerus dapat mengakibatkan rasa kronis atau sakit yang berkelanjutan.
Menurut psikolog asal Jerman, Karen Horne, pengalaman yang dialami oleh anak, terutama pengalaman yang traumatis akan membekas dalam dirinya, sehingga mempengaruhi kepribadiannya saat sudah dewasa.
Melansir dari laman Merdeka, trauma psikologis yakni kekerasan pada anak dapat mempengaruhi perkembangan emosional dan sosial mereka sehingga mengalami trauma psikologis yang serius. Hal ini, tergambarkan sebagai berikut:
- Anak yang mendapat kekerasan dapat menjadi sangat cemas dan takut ketika berhadapan dengan orang lain maupun pelaku.
- Anak yang mengalami kekerasan dapat merasa sedih, putus asa, hingga kehilangan harapan hidup dan berimbas menjadi depresi.
- Kekerasan yang menghantui anak, dapat menyebabkan mereka mengalami kesulitan tidur atau tidak dapat tidur dengan nyenyak.
- Nafsu makan menjadi berkurang atau berlebih.
- Terdapat kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain karena anak yang menjadi korban akan cenderung menyendiri serta merasa terisolasi.
- Perilaku yang menyimpang dapat terjadi karena anak membentuk perilaku dari yang dilakukan oleh orang tuanya, yakni kekerasan.
Terlepas dari penyebab terjadinya kekerasan hingga dampak yang ditimbulkan. Perlu diketahui bahwa kekerasan utamanya dapat menciptakan rasa tidak aman pada diri anak, sehingga kehidupan sehari-hari yang utamanya merupakan hak anak, seperti pendidikan dan lainnya menjadi terganggu.
Dengan demikian, perlindungan kepada anak harus ditingkatkan sebagaimana yang tergambarkan melalui tema pada perayaan ke-39 tahun ini, yakni “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Dengan mengangkat isu utama yang membahas cerdas bermedia sosial menuju generasi emas, dare to lead and speak up: anak pelopor dan pelapor, pengasuhan layak untuk anak Indonesia, wujudkan lingkungan yang aman untuk anak, dan stop kekerasan, perkawinan anak dan pekerja anak.
Tema dengan anak terlindungi ini menjadi nilai utama agar menghindari keberlanjutan kekerasan pada anak yang dapat terjadi di mana pun. “Kemen PPPA akan terus berkomitmen untuk memberikan upaya yang terbaik bagi perempuan dan anak Indonesia dalam memastikan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, perlindungan hak perempuan dan perlindungan anak dapat terwujud,” ujar Menteri PPPA dalam Rapat Kerja: Realisasi Program Kerja Tahun 2022, Rencana Kerja Tahun 2023, dan Pandangan Pemerintah Terhadap RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA).
Harus adanya upaya nyata perlindungan pada anak dari segala pihak, khususnya pemerintah yang menanggulangi hal ini. Besar harapan segala rencana dapat direalisasikan dengan baik untuk melindungi setiap anak di Indonesia. Sebab anak merupakan penerus bangsa yang memerlukan perlindungan secara fisik, mental, dan sosial secara utuh untuk dapat memberikan yang terbaik bagi masa depan bangsa ini.
Penulis: Cindi Audia Fithrotunisa
Editor: Melody Azelia M
Daftar Pustaka:
https://www.google.com/amp/s/www.kpai.go.id/publikasi/kpai-paparkan-penyebab-
https://kumparan.com/berita-terkini/sejarah-dan-tema-hari-anak-nasional-2023-20q5wRFG9U5/full