Keadilan merupakan hak yang seharusnya didapatkan oleh setiap insan manusia ketika ia lahir dan hidup di dunia. Oleh karena itu, setiap negara wajib memberikan jaminan akan keadilan baik di mata hukum atau masyarakat bagi rakyatnya.

Namun, bagaimana jika keadilan tersebut merupakan kesemuan semata bagi segelintir pihak?

Hari Keadilan Internasional atau Day of Criminal Justice yang dirayakan pada setiap tanggal 17 Juli ini hadir sebagai gerakan mendukung keadilan, mempromosikan hak-hak korban, serta membantu mencegah kejahatan yang dapat mengancam kedamaian, keamanan, dan kesejahteraan dunia.

Menurut situs Koalisi Untuk Pengadilan Kriminal Internasional, perayaan Hari Keadilan Internasional diawali dari pengangkatan Undang-Undang (UU) Roma pada 17 Juli 1998, sebagai penanda pentingnya akan perjuangan melawan impunitas dan keadilan bagi korban kejahatan perang, kejahatan terhadap manusia, dan genosida.

Selain melindungi manusia dari sejumlah kejahatan, hal tersebut juga bersinggungan dengan peran penting suatu negara dalam melindungi setiap warga negaranya dari ancaman ketidakadilan dan kejahatan yang mengancam hak hidupnya.

Akan tetapi, sudah hampir 3 dekade peringatan ini diadakan sejumlah kasus penindasan, perampasan hak, hingga pembunuhan masih terdengar ditelinga kita. ironis nya permasalahan ini juga berdampak dan merugikan bagi banyak pihak.

Penindasan Terhadap Warga Muslim Rohingya Belum Menemukan Titik Terang

Pada 25 Agustus 2017 militer Myanmar memulai kampanye pembantaian, pemerkosaan, dan pembakaran di wilayah Utara Negara Bagian Rakhine. Perbuatan tersebut ditujukan kepada masyarakat muslim Rohingya yang menetap disana. Kekejaman ini berakar dari penindasan, diskriminasi, dan kekerasan negara yang terjadi selama beberapa dekade.

Berdasarkan laman Human Right Watch, pada tahun 2022 terdapat lebih dari 730.000 orang Rohingya melarikan diri ke kamp-kamp berbahaya dan rawan banjir di Bangladesh. Di Indonesia sendiri tercatat dari 12.805 pengungsi berasal dari 51 negara, sekitar 1.000 orang atau 8% diantaranya adalah pengungsi dari Rohingya.

Banyaknya pengungsi yang lari disebabkan oleh dampak konflik yang menyebabkan banyaknya masyarakat muslim Rohingya yang menjadi korban pembunuhan, pemerkosaan, bahkan perampasan seperti bahan baku makanan turut terjadi dan membuat masyarakat Rohingya menderita masalah gizi.

Ironis nya, sudah lima tahun terjadi konflik ini masyarakat Rohingya belum mendapatkan kejelasan mengenai hak-hak mereka sebagai warga negara, malah status sebagai Kewarganegaraan Myanmar masyarakat Rohingya ditolak, sehingga mereka tidak memiliki kewarganegaraan.

Kejahatan Politik Apartheid Masa Lalu di Afrika

Pada tahun 1948 di negara Afrika Selatan, salah satu partai bernama Partai Nasional Afrika Selatan membuat kebijakan pemisahan masyarakat berdasarkan warna kulit demi melindungi ras kulit putih disana.

Kebijakan tersebut tentunya hanya menguntungkan sebagian pihak, sedangkan pihak lainnya akan merasa dirugikan. Pemisahan hak asasi ini mengakibatkan kesenjangan hak antara kulit putih dan kulit hitam Afrika Selatan seperti, kesenjangan politik, sosial, dan ekonomi yang dilegitimasi oleh kebijakan pemerintah Afrika Selatan melalui Undang-Undang Nasional.

Undang-Undang tersebut setidaknya memuat klasifikasi tiga kelompok ras utama yaitu

  • Ras Utama Putih
  • Ras Bantu atau kulit hitam Afrika
  • Ras Keturunan campuran

Berdasarkan kebijakan tersebut tentunya menimbulkan diskriminasi terhadap ras kulit hitam, sebab hanya ras kulit putih saja yang mendapatkan hak istimewa dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, hingga kekuasaan politik afrika.

Bukan Hanya Masa Lalu, Kini Darurat Apartheid Gender Terjadi di Taliban 

Biasanya kejahatan Apartheid yang kita dengar adalah kejahatan yang menjurus pada ras atau jenis kulit tertentu, kini kita melihat lebih jauh lagi yakni kejahatan Apartheid Gender.

Apa itu Apartheid Gender?

Dilansir dari CCN Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan apartheid gender sebagai diskriminasi seksual, ekonomi, dan sosial terhadap individu berdasarkan gender atau jenis kelamin.

Jika di negara lain mendefinisikan apartheid menjurus kepada ras, berbeda dengan Afghanistan yang menggunakan seks sebagai salah satu alat untuk menekan hak dan kebebasan seseorang. PBB pun menjelaskan bahwa kejahatan dan peraturan yang dibuat oleh pasukan Taliban di Afghanistan ini menjurus kepada diskriminasi terlembagakan terhadap kaum perempuan.

Sejak Agustus 2021, ketika Taliban merebut kekuasaan pemerintahan Afghanistan mereka membuat kebijakan yang menggunting kebebasan serta hak perempuan dalam sektor pendidikan mulai dari duduk dibangku sekolah hingga Universitas.

Melansir dari Voa Indonesia, pencabutan hak-hak dasar terhadap perempuan dan anak-anak perempuan ini dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan dalam bentuk persekusi gender.

Selain pembatasan terhadap ranah pendidikan, sejak April 2023 otoritas Taliban juga memberlakukan larangan terhadap perempuan Afghanistan bekerja untuk PBB setelah menghentikan perempuan yang bekerja untuk kelompok bantuan pada Desember 2022.

Tidak hanya kasus kekerasan dan penindasan, akan tetapi makna dari keadilan sendiri mencakup banyak hal, salah satunya mengenai ketimpangan sosial. kasus-kasus ketimpangan sosial ini juga berkaitan erat dengan kemiskinan yang semakin meninggi.

Banyaknya kasus kemiskinan dan ketimpangan sosial ini tentunya menjadi perhatian tersendiri bagi banyak orang. Pada perayaan Hari Keadilan Internasional, PBB mengusungkan tema “Overcoming Barriers and Unleashing Opportunities for Social Justice” yang berarti “ Mengatasi Hambatan Sosial dan Membuka Peluang Untuk Keadilan Sosial”.

Akan tetapi dengan merayakan peringatan Hari Keadilan Internasional, apakah hal ini hanya menjadi perayaan atau betul-betul merupakan kepedulian bersama?

Berdasarkan data dari terlembaga riset Ipsos Global, What Worries the World yang melibatkan 19.504 responden dewasa usia 16-74 tahun di 29 negara, terdapat 10 negara yang memiliki kekhawatiran akan isu kemiskinan dari ketimpangan sosial, yakni :

Melihat sejumlah kasus kejahatan dan ketimpangan yang terjadi di berbagai negara dapat menjadi refleksi untuk kita agar terus peduli dan mengamati hal-hal disekitar, sekaligus menyadarkan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh pihak manapun tidak dapat dibenarkan, apalagi menyangkut hak kehidupan seseorang. Kejahatan dalam bentuk apapun bukanlah suatu jalan untuk menyelesaikan suatu permasalahan, akan tetapi malah menambah kesengsaraan.

 

“Teruslah menentang segala bentuk ketidakadilan terhadap diri Anda sendiri dan orang lain, karena hal tersebut akan menjadi teladan bagi anak-anak Anda dan generasi mendatang.”

 —Bernice King

 

Penulis: Aisha Balqis S & Darren Verrol

Editor : Aisha Balqis S

Sumber :

https://news.detik.com/berita/d-6811431/hari-keadilan-internasional-2023-simak-asal-usul-peringatan-17-juli#:~:text=Oleh%20karena%20itu%2C%20tanggal%2017,%2C%20keamanan%2C%20dan%20kesejahteraan%20dunia.

Retorika dan Air Mata: Menagih Janji Keadilan di Hari Keadilan Internasional

https://www.hrw.org/id/news/2022/08/24/myanmar-no-justice-no-freedom-rohingya-5-years

https://www.metrotvnews.com/play/NG9C5e1L-perang-rusia-ukraina-apa-penyebabnya

https://www.cnbcindonesia.com/news/20230411212240-4-429090/ngeri-serangan-udara-junta-myanmar-tewaskan-100-orang

https://dunia.tempo.co/read/1739751/temuan-pbb-soal-ketidaksetaraan-gender-terbaru-soal-apartheid-gender-kelompok-taliban?page_num=2

https://www.voaindonesia.com/a/pakar-pbb-perlakuan-taliban-terhadap-perempuan-bisa-dikategorikan-apartheid-gender-/7144598.html

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-62873712

https://tirto.id/contoh-pelanggaran-ham-berat-politik-apartheid-di-afrika-selatan-gwo4

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini