Senin, (28/07/2025) mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia kembali turun ke jalan menyuarakan berbagai tuntutan kepada pemerintah yang dikoordinasi oleh Aliansi BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia). Aksi ini mengusung tema “Indonesia (C)Emas” sebagai gambaran bahwa keadaan Indonesia saat ini tidak membawa pada Indonesia Emas 2045 namun justru dibawah pemerintahan Prabowo ini kondisi Indonesia justru mencemaskan. 

 

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh LPM Gema Alpas dengan Dedi Irwansyah, salah satu Presiden Mahasiswa (presma) pada Senin, (28/07/2025), Dedi menekankan bahwa aksi ini digelar sebagai respons atas urgensi beberapa kebijakan nasional yang dinilai bermasalah dan merugikan rakyat. “Pemerintah di Indonesia gembar-gembor soal Indonesia Emas 2045, tapi realitanya kondisi di lapangan membuat kita justru cemas,” ujar Dedi pada (28/07/2025). Aksi ini membawa 11 (sebelas) tuntutan yang mana dianggap krusial dan merugikan masyarakat dI indonesia.

 

Indonesia Emas, namun Membuat Cemas

Ada sekiranya 11 tuntutan yang dibawa dalam aksi ini yang dianggap tidak pro-rakyat, yaitu berupa, yang pertama, menolak keras terhadap upaya pengaburan sejarah. Tolak politisasi sejarah untuk kepentingan elit. Kemudian, mendesak untuk peninjauan kembali pasal bermasalah, pelibatan politik yang lebih luas dan bermakna dalam pembahasan RUU, Penundaan pengesahan hingga seluruh poin kontroversial diselesaikan, antara lain; Pasal 93, Pasal 145 ayat 1, Pasal 6 ayat 1 (penyidik utama belum jelas), Pasal 106 ayat 1, Pasal 106 ayat 4 (membuka kriminalisasi individu), Pasal 23 (masyarakat sipil kehilangan jaminan hukum), dan Pasal 93 ayat 5C.

 

Selanjutnya, mendesak pemerintah untuk transparan dalam menyampaikan informasi terkait perjanjian bilateral melindungi kepentingan ekonomi nasional dan melakukan diplomasi yang kuat untuk memastikan kesepakatan yang saling menguntungkan. Tidak hanya itu, dalam tuntutan ini juga mendesak untuk dilakukannya audit menyeluruh terhadap izin pertambangan penegakan, jaminan partisipasi adat dalam pengelolaan sumber daya, alokasikan keuntungan yang adil bagi masyarakat yang terdampak, serta tindak tegas pelaksanaan illegal mining (penambangan ilegal) di berbagai wilayah Indonesia.

 

Tidak sampai disitu, massa aksi juga mendesak pemerintah untuk membatalkan pembangunan 5 batalyon baru di Aceh dan segera untuk membuka data spesifik terkait jumlah tentara organik yang di tempatkan di Aceh sesuai dengan MoU Helsinki. Kemudian, mendesak pemerintah untuk membatalkan pembangunan pengadilan militer dan fasilitas lainnya di lingkungan Universitas Riau serta perguruan tinggi lainnya.

 

Selanjutnya, tolak dan cabut UU TNI dan menolak segala bentuk intimidasi dan represi yang mengancam sipil. Kemudian, Menuntut DPR, Pemerintah, dan aparat untuk memberikan kebebasan dan transparansi dari kawan-kawan kita yang masih dalam status tersangka untuk diberi status kebebasan. Juga menolak dengan tegas segala bentuk aktivitas yang mempromosikan perilaku LGBT di seluruh sektor kehidupan sosial. Lalu, mendesak pemerintah untuk segera menemukan regulasi dan sanksi hukum yang tegas terhadap tindakan yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai agama dan budaya bangsa.

 

Tidak berhenti disitu, namun juga menolak segala bentuk praktik dwifungsi jabatan yang membuka peluang rangkap jabatan sipil dan militer atau rangkap jabatan struktural lainnya yang berpotensi merusak prinsip profesionalisme birokrasi di Indonesia, dan yang terakhir namun tidak kalah penting, menolak pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset

 

Salah satu isu utama yang disorot adalah pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dinilai terburu-buru dan asal-asalan. Menurut Dedi, beberapa pasal hasil revisi bisa menjerat siapa pun sebagai tersangka, yang dinilai mengancam kebebasan sipil.

 

“Ada beberapa hal yang kita lihat dan kita highlight disini urgensinya, yang pertama adalah Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dikebut sangat cepat dan kita lihat revisinya itu secara abal-abal, secara itu ya asal-asalan dan kita lihat beberapa pasal yang kita telusuri dan kita lihat ada peleburan ataupun ada pembaruan pasal tersebut yang dimana kita melihat ketika itu sudah disepakati maka semua bisa jadi tersangka dan itu tentang RKUHP dan itu salah satu tuntutan yang kita bawakan pada hari ini dan menjadi urgensi,” ucap  Dedi kepada LPM Gema Alpas.

 

Selain itu, mahasiswa juga menentang upaya penulisan ulang sejarah, khususnya terkait tragedi 1998. Mereka mengecam pernyataan pejabat Kementerian Kebudayaan yang menyebut tidak adanya kasus pemerkosaan dalam kerusuhan 1998. “Kita kawal agar tidak ada pengaburan sejarah,” tegas Dedi kepada tim redaksi LPM Gema Alpas.

 

Tuntutan lainnya meliputi percepatan pengesahan UU Perampasan Aset, revisi UU Adat yang terkait konflik agraria, serta pembaruan UU TNI agar militer tidak lagi masuk ke ranah sipil, termasuk institusi pendidikan. Mahasiswa juga menyuarakan penolakan terhadap intimidasi terhadap aktivis dan mahasiswa yang menyampaikan pendapat, serta mengecam kesepakatan bilateral Indonesia-AS yang dianggap tidak berpihak pada rakyat.

 

Terkait dialog dengan pemerintah, Dedi mengaku telah mengupayakan audiensi dan Rapat Dengar Pendapat (RDP), namun akses tersebut dinilai dibatasi. Oleh karena itu, aksi turun ke jalan dinilai sebagai langkah lanjutan yang tak terhindarkan. “Kalau tuntutan tidak ditanggapi, maka aksi akan berlanjut, dari daerah hingga ke pusat. Kita juga akan terus menyuarakan ini lewat media,” tegasnya.

 

Ketika ditanya soal harapan, Dedi menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan. “Hari ini demokrasi makin berkurang. Pemerintah membuat kebijakan tanpa melibatkan masyarakat, padahal mereka yang akan merasakan dampaknya,” ujarnya.

 

Respon Pemerintah atas Suara yang Digaungkan

Merespon aspirasi yang digaungkan, Juri Ardiantoro selaku Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) hadir dalam mewakili Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) dan Presiden RI (Republik Indonesia), Prabowo Subianto dan menerima tuntutan massa aksi. “…Presiden berpesan dan kenapa kami disuruh kesini karena pak presiden juga menganggap sangat penting aspirasi dari mana saja termasuk dari kawan-kawan mahasiswa. Tidak benar presiden tidak menganggap dan menyepelekan setiap aspirasi. Itulah artinya kenapa kami kesini. Jadi, itulah kenapa saya diminta kesini untuk menerima aspirasi teman-teman semua”. Ujarnya di hadapan massa aksi pada Senin, (28/07/2025)

 

Ia menegaskan bahwa aspirasi yang disampaikan hari ini akan diteruskan kepada presiden dan Mensesneg untuk dikaji secara menyeluruh. Nantinya, dari tuntutan-tuntutan per hari ini akan ditampung, dipelajari dan diambil tindakan jika sejalan dengan cita-cita bangsa. “…Jadi jangan khawatir tidak mungkin tidak dibaca dan tidak dipelajari. Jadi sekali lagi terima kasih kepada kawan-kawan yang sudah mengkaji, melihat persoalan di tengah-tengah masyarakat. Nantinya akan menjadi kebijakan dan presiden akan memperhatikan itu semua,” lanjut Juri.

 

Aspirasi ini bukan sekadar seremoni tanpa tindak lanjut nyata. Proses pengkajian dan pengambilan kebijakan harus dilakukan dengan transparan, akuntabel, dan melibatkan suara rakyat secara aktif. Jika bukan sekarang, kapan lagi perubahan yang benar-benar berpihak pada rakyat dapat terwujud? Masyarakat akan terus mengawasi dan mendesak agar janji-janji tersebut tidak hanya menjadi retorika semata, melainkan tindakan nyata yang mampu menjawab keresahan dan kebutuhan masyarakat. Pemerintah dituntut serius menjalankan komitmen ini demi masa depan bangsa yang lebih baik.

 

Oleh : Tim Redaksi LPM Gema Alpas

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini