Puluhan warga Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, memprotes rencana proyek panas bumi di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Aksi tersebut berlangsung pada Senin, (14/07/2025) lalu. Warga menyampaikan penolakan terhadap proyek yang mereka nilai mengancam ruang hidup dan sumber daya air di kawasan tersebut.

Melansir dari bbc.com, aksi ini dipicu atas surat undangan dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango yang dikeluarkan pada Jumat, (04/07/2025) terkait verifikasi lahan eksplorasi panas bumi seluas 5,46 hektar.  Hal ini yang menjadi kekhawatiran warga, khususnya para petani Desa Sukatani yang resah dengan adanya proyek ini dikhawatirkan akan menggusur lahan mereka.

Energi Terbarukan dan Ancaman Kelestarian

Melansir dari mongabay.co.id, Arief Mahmud, Kepala Balai Besar, menyebut bahwa PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP), pelaksana proyek panas bumi di Gunung Gede-Pangrango, telah mengikuti seluruh prosedur yang berlaku. Karena itu, menurutnya, proses verifikasi lahan perlu dilakukan. “Tidak ada kaitannya dengan pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi atau yang banyak disebut masyarakat sebagai proyek geothermal,” ujar Arief pada Rabu, (23/07/2025).

DMGP sendiri merupakan lini bisnis dari PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSS), anak perusahaan dari Grup Sinar Mas. Proyek panas bumi yang mereka tangani ini tercatat sebagai bagian dari Program Strategis Nasional (PSN). Eksplorasi sudah berlangsung sejak tiga tahun terakhir, mencakup aktivitas seperti pematokan lahan dan pembebasan tanah untuk akses serta pembangunan fasilitas pengeboran.

Meskipun merupakan proyek strategis nasional, keterlibatan pemerintah daerah dalam pelaksanaannya tampak minim. Saat dimintai keterangan terkait dampak lingkungan dan langkah mitigasi yang dilakukan, Pemerintah Kabupaten Cianjur mengaku tidak memiliki informasi yang cukup. Mereka menyatakan hanya menerima penjelasan singkat dari perusahaan dalam sejumlah forum terbatas.

Pihak perusahaan dan pemerintah daerah kompak menyatakan bahwa proyek ini aman secara lingkungan. Mereka membantah kekhawatiran warga bahwa eksplorasi panas bumi dapat memicu gempa bumi.

Namun, kekhawatiran warga bukan tanpa dasar. Data dari BMKG Wilayah II menunjukkan bahwa selama tahun 2024 telah terjadi beberapa gempa bumi yang episentrumnya berlokasi di area penambangan panas bumi di Gunung Salak. Kasus serupa juga tercatat di PLTP Sorik Marapi, Sibanggor Julu, Mandailing Natal.

Antara Konflik Kepentingan dan Kekhawatiran Warga 

Dalam laporan Badan Geologi Kementerian ESDM, sepanjang Oktober hingga November 2024 saja terdeteksi 216 gempa di wilayah Gunung Gede, mayoritas berupa gempa tektonik. Temuan ini menunjukkan bahwa aktivitas geologi di kawasan tersebut masih tergolong tinggi.

Gunung Gede sendiri berstatus gunung berapi aktif, yang setiap saat berpotensi mengalami erupsi. Hal ini menambah kekhawatiran, terutama bagi warga yang tinggal dan bertani di lereng Gunung Gede-Pangrango. Sebagian besar dari mereka merupakan penggarap lahan yang sejak lebih dari 25 tahun lalu mengelola lahan milik Perhutani. Di lahan itu, mereka menanam berbagai jenis sayuran untuk menyambung hidup.

Menurut peta kebencanaan PVMBG, terdapat tiga desa yang terdampak langsung dari adanya aktivitas pengeboran geotermal yaitu Desa Sindangjaya, Desa Sukatani, dan Desa Cipendawa. Melansir dari detik.com, titik penambangan akan dilakukan di wilayah taman nasional yang secara administratif berada di Desa Sindangjaya dengan ketinggian sekitar 1.700 mdpl.

Melansir dari detik.com, para warga juga khawatir penambangan panas bumi dapat memicu peningkatan aktivitas kegempaan, terutama gempa-gempa kecil yang biasa disebut lini oleh warga sekitar. “Kaca rumah sudah goyang, apalagi kalau nanti truk proyek yang jauh lebih besar lewat, rumah saya bisa hancur,” ujar Dedet Fatmawati, warga kampung Pasir Cina, Desa Cipendawa pada Selasa, (24/12/2025).

79 warga yang disebut sebagai penggarap diminta datang ke kantor Balai Besar TNGGP di Cibodas pada 17 Juli 2025 untuk pendataan ulang dan orientasi batas area kerja proyek. Surat undangan itu ditembuskan kepada aparat keamanan seperti Polda Jawa Barat, Brimob, Korem 061, dan Armed 5-105, yang menimbulkan kekhawatiran warga akan pendekatan yang represif. 

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengkritik keras tembusan surat kepada aparat bersenjata tersebut, (LBH) menyebutnya sebagai bentuk intimidasi dan pelanggaran terhadap prinsip hak asasi manusia (HAM). LBH menegaskan bahwa hak atas tanah, rasa aman, serta untuk didengar merupakan bagian dari hak universal yang telah dijamin melalui ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) oleh Indonesia lewat UU No. 12 Tahun 2005. Selain itu, tindakan pengambilalihan lahan atas nama PSN juga dinilai bertentangan dengan Pasal 28H dan 28I UUD 1945.

Selain adanya tindak intimidasi yang dilakukan melalui surat udangan tersebut, melansir dari detik.com, Dedet mengaku bahwa ia juga pernah mendapati kekerasan fisik ketika dirinya dan warga lain memasang spanduk penolakan terhadap proyek geotermal ini, “Dia menonjok teman saya yang memasang spanduk. Padahal kami hanya menolak dengan damai,” Ujar Dedet.

Gunung Gede-Pangrango sendiri memiliki peran vital sebagai kawasan tangkapan air untuk lebih dari 30 juta jiwa. Tercatat ada sekitar 94 mata air dengan total debit 594,6 miliar liter per tahun yang mengalir ke empat Daerah Aliran Sungai besar: Citarum, Cisadane, Cimandiri, dan Ciliwung serta mencakup wilayah di tiga provinsi.

“Air dari sini bukan hanya untuk Cianjur, tapi juga mengaliri Bogor, Sukabumi, hingga Banten,” ujar Cece Jaelani, sebagai salah satu warga. Warga lain, Soenarjo Sugiarto, menegaskan juga bahwa sekalipun ia bukan penggarap, ia tetap menolak proyek karena merasa ruang hidupnya terancam.

Di sisi lain, Kementerian ESDM menyebut potensi panas bumi di kawasan itu mencapai 85 MW dengan target pengembangan 55 MW, yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan listrik sekitar 61 ribu rumah tangga pada 5 tahun kedepan.

Kehadiran proyek energi terbarukan ini yang digadang-gadang menjadi pintu penyelesaian terhadap krisis iklim. Namun, perkembangan “energi bersih” ini efeknya semakin dirasakan. Lantas, bagaimana pemerintah dalam memberikan solusi konkrit untuk mengatasi dampak dari adanya proyek energi terbarukan ini?

 

Oleh : Regulus

Editor : Ananda Rizka Rivaindini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini