Kamis (19/06/2025), Aksi Kamisan yang rutin digelar setiap Kamis kini kembali menjadi panggung untuk bersuara bagi mereka yang terpinggirkan. Pada Aksi Kamisan ke-865 ini, mengusung tema “Melawan Pemelintiran Sejarah, Menolak Pemutihan Dosa Orde Baru”. Tema ini merujuk pada rencana-rencana pemerintah terkait penulisan ulang sejarah Indonesia serta menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh tim redaksi LPM Gema Alpas, Hans selaku perwakilan dari KontraS mengatakan bahwa terdapat tiga tuntutan pada aksi kamisan kali ini yaitu, menolak penganugerahan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, menolak kehadiran Proyek Strategis Nasional (PSN) yang meminggirkan kehidupan masyarakat adat di Raja Ampat dan penolakan protes kepada pernyataan bahwa Peristiwa 98 itu hanya rumor.
Jejak Kelam Soeharto menjadi Alasan Penolakan Gelar Pahlawan Nasional
Berbagai elemen masyarakat sipil menyatakan protes penolakan terhadap rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Penolakan ini didasari pada masa-masa Soeharto menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) ke-2. Soeharto memiliki catatan hitam dalam sejarah yang berkaitan dengan kejahatan manusia, terutama pada peristiwa 1965 hingga tragedi 1998.
Melansir dari Kompas.com, berbagai pelanggaran HAM yang diduga dilakukan Soeharto menurut catatan KontraS adalah kasus pembunuhan, penangkapan massal, dan pembuangan orang ke Pulau Buru pada tahun 1965-1966. Selanjutnya, Soeharto menjadi orang terduga dibalik peristiwa “Penembakan Misterius” terhadap residivis, bromocorah, gali, preman tanpa melalui pengadilan yang terjadi sepanjang tahun 1981-1985. Selain itu, Pada peristiwa Tanjung Priok 1984-1987, Soeharto dinilai memanfaatkan Kopkamtib sebagai alat utama untuk mendukung serta melindungi kebijakan politiknya.
Tidak hanya itu, KontraS juga menilai tindakan represif yang dilakukan Soeharto terhadap kelompok-kelompok Islam yang dianggap ekstrim turut menyebabkan terjadinya peristiwa Talangsari pada 1984-1987. Dalam catatan yang dikeluarkan ol3h KontaS, Soeharto juga diduga melakukan berbagai pelanggaran HAM berat lainnya.
Selain persoalan HAM, Soeharto juga memiliki rekam jejak korupsi sejak tahun 2000. Di sisi lain, kebijakannya dinilai represif terhadap perempuan mulai dari kekerasan hingga diskriminasi pada perempuan. Serta, Soeharto juga dikenal sebagai sosok yang mengekang kebebasan pers, kebebasan akademik, dan lain sebagainya.
Memutihkan Sejarah merupakan Pengkhianatan Besar
Saat ini pemerintah Indonesia tengah menulis ulang sejarah Indonesia yang mana targetnya akan tuntas di bulan Agustus tepat pada hari Kemerdekaan RI ke-80 tahun. Hal ini tentu menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Meskipun banyak yang kontra, nyatanya projek penulisan sejarah tetap akan berjalan sesuai dengan target tuntasnya.
Aksi ini berangkat dari tragedi 98 yang mana menurut Komnas HAM tragedi tersebut merupakan sejarah besar pelanggaran HAM berat. Banyak peristiwa tragis pada masa itu, salah satunya kasus pelecehan atau pemerkosaan. Fadli Zon, selaku Menteri Kebudayaan menyatakan bahwa pemerkosaan massal pada tahun 1998 adalah “rumor” dan tidak ada pembuktian dalam buku sejarah dan dianggap hanya rumor belaka. Dalam konteks ini, Fadli Zon dianggap menyangkal atas fakta peristiwa tragis tersebut.
“…nah, terkait dengan hubungan dengan pernyataan Fadli Zon, ya pernyataan itu harus dikritik, harus ditolak. Kenapa? Karena pernyataan itu mengenyampingkan pertama, penetapan peristiwa 98 sebagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Komnas HAM. Yang kedua, temuan dari tim gabungan pencari fakta peristiwa 98 “ ujar Hans kepada LPM Gema Alpas pada Kamis, (19/06/2025). Hal ini menuai kekhawatiran masyarakat karena dianggap sebagai “Pemutihan” terhadap sejarah.
Keadaan Alam di Papua yang Mengkhawatirkan
Simon Petrus selaku ketua forum Masyarakat Adat Malind Anim Kondo Digu,l Papua Selatan mengungkapkan bahwa saat ini Papua tidak baik-baik saja. Adanya PSN yang dibongkar begitu saja tanpa adanya izin persetujuan dari masyarakat adat, mengakibatkan ancaman pada keberlangsungan hidup masyarakat setempat.
Dilansir dari Tempo.com, Pemerintah menggusur lahan masyarakat demi kepentingan proyek tanpa melibatkan dialog masyarakat setempat sehingga menimbulkan konflik agraria. Hal ini juga diduga melanggar hak-hak masyarakat seperti hak atas pangan, air, lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan, serta hak-hak budaya.
Simon juga menyoroti kerusakan lingkungan akibat ulah pemerintah. “…bahkan kerusakan lingkungan yang kita liat mulai dari Raja Ampat, Sorong, sampai di Merauke saat ini. jadi ini ada niat-niat tidak bagus terhadap aaa kerusakan-kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM berat yang terjadi dan juga akan ada banyak korban-korban. Yang kita tau sendiri, bahwa di Kalimantan banyak korban kelapa sawit, nikel, kerusakan nikel. Nah, sekarang kita tau di Raja Ampat korban nikel. Kita di selatan itu korban PSN” ujar Simon pada saat diwawancarai oleh LPM Gema Alpas.
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang dikutip dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), sejak 2020-2024 tercatat sebanyak 103 ribu ibu rumah tangga telah kehilangan mata pencahariannya akibat perampasan tanah yang dilakukan oleh pemerintah dengan dalih PSN. Akibatnya, sumber air rusak, hilangnya bahan pangan seperti sagu, sayuran, ikan, dan berbagai sumber pangan berbahan protein lainnya yang berasal dari sungai maupun laut, memaksa perempuan harus membeli kebutuhan pangan. Oleh karena itu, kondisi ini membuat meningkatnya beban pengeluaran rumah tangga.
Harapan yang Selalu Digaungkan namun Perubahan tak Kunjung Nyata
Berbagai harapan serta suara yang selalu digaungkan pada Aksi Kamisan setiap minggunya tidak kunjung didengar, namun rakyat masih tetap teguh berdiri menaruh harapan kepada negara untuk menjalankan kewajibannya menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Seruan ini tidak hanya sebagai rutinitas mingguan, namun sebagai pengingat keras bagi negara yang abai dan kerap membicarakan kepentingan umum tetapi mangkir dari tanggung jawab. Negara harus berhenti sembunyi dibalik retorika dan mulai mendengar suara rakyat.
Oleh : Tim Redaksi LPM Gema Alpas