Belum lama ini, Kejaksaan Agung menyatakan tim penyidik menemukan adanya pengoplosan pada kilang jenis RON 88 dan RON 90 (setara Pertalite) yang kemudian dicampur menjadi Jenis RON 92 atau Pertamax. Pengoplosan ini dilakukan di terminal dan perusahaan milik MKAR. Kejaksaan agung mengungkapkan bahwa korupsi tata kelola minyak ini terjadi sejak 2018 hingga 2023.
Melansir dari bbc.com, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menyebutkan kerugian yang dirasakan oleh negara sebesar Rp 193,7 Triliun dan diperkirakan akan lebih besar dari nominal yang disebutkan, “Perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun”, kata Abdul Qohar di Gedung Kejaksaan Agung Jakarta, Senin (24/02).
Qohar menyebutkan bahwa kerugian negara itu bersumber dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.
Tersangka dan Motif
Kejaksaan agung menetapkan adanya sembilan tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak ini, yaitu Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga serta Edward Corne selaku VP Trading Produk Pertamina Patra Niaga. Kemudian, Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional, Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, dan Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
Adapun tersangka dari pihak swasta adalah Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim, serta Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Selain itu, Kejagung juga mengungkap bahwa dua tersangka mengetahui dan menyetujui mark up atau penggelembungan harga kontrak pengiriman yang dilakukan oleh tersangka JF. Akibatnya, Pertamina harus mengeluarkan fee 13% hingga 15% yang termasuk kedalam “melawan hukum”. Kemudian, uang itu mengalir ke tersangka lainnya MKAR dan DW, ungkap Qohar.
Melansir dari cnn.com, hingga Jumat, (28/02/2025) Kejaksaan Agung telah menggeledah rumah tersangka Dimas Werhaspati, depo minyak PT Orbit Terminal Merak (OTM) milik tersangka Kerry Andrianto Riza, dan dua rumah saudagar minyak Riza Chalid.
Dari rumah Dimas, penyidik mengantongi bukti uang Rp971.046.000 yang terdiri dari 20.000 pecahan dolar Singapura, 20.000 dolar AS, dan 4.000 lembar pecahan 100 ribu rupiah. Kemudian, 95 bundel dokumen berupa surat dan kontrak dari depo minyak PT OTM serta dua buah ponsel milik Kerry. Selain itu, ada CCTV dari dua rumah Riza Chalid.
Jerat Hukum Hingga Sikap Pertamina
Para tersangka dituduh melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 jo, Pasal 18 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hingga saat ini, Kejaksaan Agung masih terus melakukan penyidikan terhadap kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah.
Mengutip dari tempo.co, Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menyampaikan permohonan maaf atas dugaan pelanggaran hukum anak perusahaannya dalam konferensi pers, 3 Maret 2025. Simon juga menyatakan akan menghormati proses hukum yang tengah berjalan dan mendukung upaya penegakan hukum atas dugaan penyimpangan dalam tata kelola impor minyak mentah dan produk hilir sepanjang 2018–2023.
“Kami sangat mendukung upaya Kejaksaan Agung dan siap memberikan data serta keterangan tambahan yang diperlukan agar proses hukum berjalan sesuai aturan,”ujarnya.
Penulis: Ananda Rizka
Editor: Shalza Bilillah