Bertepatan dengan nuansa Hari Dukungan untuk Korban Penyiksaan Internasional (International Day in Support of Victims of Torture), yang dirayakan sejak 26 Juni 1987. Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) kembali menggelar aksi kamisan secara rutin yang ke-820 pada Kamis, (27/06/24). Aksi ini digelar sebagai bentuk pengingat berlakunya Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat (CAT).
Melalui aksi Kamis ke-820, JSKK menuntut Bapak Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat seperti yang telah dijanjikannya. Namun hingga kini, pelaku pelanggaran HAM masih berkeliaran dengan bebas. Berdasarkan catatan Komnas HAM dalam press release JSKK, terdapat 282 pengaduan kasus penyiksaan sepanjang Januari 2020–Juni 2024 dan setidaknya terdapat 176 kasus yang diduga melibatkan aparat kepolisian.
Aksi kamisan ini menjadi catatan baru bagi Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya, kamisan kali ini menyoroti kasus AM, seorang anak berusia 13 tahun yang ditemukan tewas di Sungai Batang, Padang, Sumatera Barat, dengan luka memar pada tubuh bagian punggung dan perut yang diduga disiksa oleh anggota Sabhara Polda Sumbar, pada 9 Juni lalu. Aksi Diam di Depan Istana Presiden (aksi kamisan) merupakan sebuah upaya untuk mendorong Jokowi agar mengadili pelaku pelanggaran HAM berat sebagaimana yang telah Jokowi ungkapkan tahun lalu, bahwa kejadian atau peristiwa Pembantaian 1965-1966 dan tragedi Rumoh Geudong 1989-1998 termasuk pelanggaran HAM berat. Sayangnya kasus-kasus tersebut tidak diusut tuntas hingga akhir jabatannya sebagai kepala negara. Padahal, Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan pro-justitia kasus-kasus pelanggaran HAM berat kepada Kejaksaan Agung. Mirisnya, proses hukum kasus-kasus tersebut terhenti selama bertahun-tahun. Hal tersebut menimbulkan persepsi bahwa pihak politik negara tidak memiliki kemauan untuk mengadili pelaku sesuai dengan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Untuk itu, melalui aksi kamisan kemarin yang digelar sebagai bentuk pengingat Hari Dukungan untuk Korban Penyiksaan Internasional, JSKK bersama perwakilan para korban-korban kejahatan aparatur negara menuntut Bapak Presiden Republik Indonesia untuk:
- Berkomitmen menghentikan penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi lainnya dengan segera meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan atau Optional Protocol of Convention Against Torture (OPCAT);
- Memastikan bahwa pelaku penyiksaan diadili melalui peradilan yang transparan, adil, dan independen, serta memastikan korban dapat mengakses pemulihan;
- Memerintahkan Jaksa Agung membentuk Tim Penyidik ad-hoc sesuai dengan UU No. 26/2000 untuk menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang telah diselidiki Komnas HAM dengan penyidikan.
Karena bagaimanapun negara bertanggung jawab dan memiliki kewajiban untuk mencegah dan menghapus penyiksaan, serta menjamin korban praktik penyiksaan memperoleh ganti rugi yang adil dan layak sebagaimana tertuang dalam Pasal 14 CAT (Convention Against Torture).
Penulis & Editor: Febriyanti Musyafa