Permasalahan pendidikan di Indonesia masih menjadi polemik bersama. Sebab dalam praktiknya, masih terdapat dosa-dosa besar yang menghantui dan turut mempersulit anak bangsa dalam mendapatkan hak pendidikan.
Selain polemik ketidakmerataan pendidikan, nyatanya terdapat permasalahan lain yang sampai saat ini masih menjadi PR bagi Indonesia untuk terus memperbaiki sistem pendidikan. Bukan hanya dari luarnya saja sebagai cover namun, secara sistemik juga harus diperbaiki.
Tingginya Angka Korupsi di Sektor Pendidikan
Menurut kajian Indonesian Corruption Watch (ICW), terdapat 240 kasus korupsi pendidikan di Indonesia sepanjang tahun 2016 – September 2021 yang merugikan negara sebanyak 1,6 triliun rupiah.
240 kasus korupsi di ranah pendidikan paling banyak terjadi dalam penyelewengan dana BOS, dengan terdapat 52 kasus atau 21,7% dari total kasus. Selain itu, diikuti dengan korupsi pembangunan infrastruktur dan PBJ non-infrastruktur, seperti pengadaan buku, arsip sekolah, meubelair, perangkat TIK untuk e-learning, pengadaan tanah untuk pembangunan fasilitas pendidikan, dan lainnya.
Mirisnya, dana korupsi tersebut diambil dari berbagai program dan sumber anggaran, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), dana otonomi khusus, anggaran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek), anggaran Kementerian Agama (Kemenag), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta sebagian diduga bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK).
Mengutip Kompas, baru-baru ini terdapat 2 dugaan kasus korupsi yang masih diproses sampai detik ini, yaitu proyek pengadaan peralatan praktik siswa SMK di Sumatera Barat (Sumbar) tahun 2021, yang diduga menyalahgunakan empat pengadaan dari sektor kemaritiman, tanaman pangan, otomotif, dan pariwisata dengan total anggaran lebih dari Rp 18 miliar. Selanjutnya, Kepolisian Resor Kota (Polresta) Padang kini telah menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan 150 item sarana prasarana belajar sebesar 4,5 miliar di lebih dari 50 SLB Sumbar.
PTN-BH Akal-akalan Kapitalisme?
PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum) merupakan bagian dari amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), yang mana dalam praktiknya PTN-BH diadakan agar kampus dapat menaikan atau meningkatkan mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat dengan adanya bantuan yang masuk dari masyarakat sekaligus bantuan subsidi pemerintah.
Dalam praktiknya PTN-BH menuai fenomena uang kuliah selangit dan lemahnya pengawasan terhadap PTN-BH berpotensi memicu kesewenangan melalui penentuan uang kuliah.
Fenomena uang kuliah selangit sempat gempar setelah salah satu PTN ternama di Bandung memberikan solusi student loandengan bunga yang cukup tinggi kepada mahasiswanya, belum lama ini satu-satunya PTN di Purwokerto menaikkan jumlah UKT kepada calon mahasiswanya.
Melihat fenomena tersebut, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Plt Dirjen Dikti Ristek), Nizam, dalam Jawa Pos (04/02/2024), menjelaskan bahwa PTN-BH seharusnya bukan menjadi ajang swastanisasi atau komersialisasi PTN. Sebab, pemerintah tetap membiayai PTN-BH dalam bentuk bantuan penyelenggaraan, gaji dan tunjangan dosen, pendanaan tridharma, serta pendanaan pengembangan lainnya. Sehingga, semestinya PTN-BH masih bisa terjangkau.
Selanjutnya, Nizam juga menjelaskan memang kemampuan pendanaan dari pemerintah belum sepenuhnya mampu menutupi kebutuhan biaya operasional dan pengembangan perguruan tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan gotong-royong masyarakat dengan catatan berprinsip keadilan. Sehingga pembayaran UKT bisa disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua dan mahasiswa.
Dunia Pendidikan Masih dalam Bayang-Bayang Kekerasan Seksual
Selain permasalahan menyangkut korupsi dan biaya pendidikan, nyatanya dunia pendidikan di Indonesia masih dihantui bayang-bayang kekerasan seksual yang mempersempit ruang aman siswa dan mahasiswa Indonesia dalam menimba ilmu.
Berdasarkan laporan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, pada Juli 2023 lalu terdapat 115 kasus kekerasan seksual yang ditangani, dengan 65 kasus berasal dari perguruan tinggi.
Melihat tingginya kasus tersebut, maka pemerintah membuat permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Akan tetapi, dalam pengimplementasiannya Satgas PPKS ini masih belum terlalu sempurna sebab masih terdapat celah pada regulasi yang dibuat. Oleh karena itu, kasus pelecehan seksual di kampus masih menjadi mimpi buruk bagi mahasiswa.
Namun nyatanya, kasus ini tidak hanya pada mahasiswa. Dosen, staf, dan tenaga pendidik dapat turut menjadi korban pelecehan seksual di lingkungan kampus. Seperti halnya yang terjadi pada Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo yang menyatakan bahwa terdapat 11 korban yang terdiri dari 8 dosen dan 3 tenaga pendidik atau staf yang menjadi korban dugaan pelecehan seksual oleh Rektor UNU Gorontalo bernama Amir Halid. Kasus yang sama terjadi di Universitas Pancasila dengan dugaan tersangka mantan Rektor Universitas Pancasila, yakni Prof. Dr. Edie Toet Hendratno. SH. M,Si., FCBArb yang melakukan pelecehan seksual pada dua staf.
Harapan Untuk Pendidikan Indonesia Kedepannya
Melihat sejumlah kasus yang menodai dunia pendidikan Indonesia, diperlukan bantuan dan aksi nyata untuk memperbaiki sistem yang sejak lama mendarah daging. Oleh karena itu, upaya ini bukan hanya dilakukan oleh pemerintah saja, melainkan peran masyarakat dan mahasiswa itu sendiri untuk memperjuangkan hak pendidikan di Indonesia.
Penulis: Tim Redaksi LPM Gema Alpas