Siapa yang tidak mengenal novel “Dompet Ayah, Sepatu Ibu” karya J.S. Khairen? Novel ini mengangkat kisah perjalanan kesuksesan dari Zenna dan Asrul yang dulunya miskin. Kedua tokoh tersebut akan memperlihatkan kepada pembaca makna di balik novel “Dompet Ayah, Sepatu Ibu”.

Novel ini dikemas dari dua sudut pandang yang menceritakan bagaimana kehidupan Asrul dan Zenna, kehidupan keduanya yang penuh dengan perjuangan agar dapat bersama. Novel ini merupakan novel dengan bentuk episode, sehingga pembaca akan dibawa menyelami alur cerita keduanya dari versi yang berbeda, pembaca dapat lebih mudah dibawa melihat bagaimana kehidupan keduanya dari sudut pandang Asrul maupun Zenna.

Pasang Surut Kehidupan Sebagai Sarjana

Perjuangan Asrul dan Zenna sebagai sarjana pertama di keluarga mereka sangatlah luar biasa. Mereka harus merantau dan merasakan kerinduan hangatnya rumah, sesekali merasakan kesulitan untuk membiayai kehidupan sendiri. Di tengah kehidupannya yang serba berkecukupan, tanggung Jawabnya bertambah ketika keduanya memiliki anak, karena keduanya harus bekerja lebih keras, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka saja, melainkan untuk menghidupi anak dan adik-adiknya.

Semua yang terjadi dalam kehidupan Asrul dan Zenna menggambarkan naik-turun kehidupan, mulai dari masa muda, kehidupan dewasa usai menjadi sarjana, hingga mereka menikah; menjadi orang tua dan menghabiskan hidup bersama. Meski hidup keduanya penuh perjuangan dan rintangan, namun keduanya berhasil membuat akhir cerita yang indah, salah satunya ketika Asrul berhasil memenuhi janji kepada Uminya.

Novel yang Sangat Menyentuh Emosi Pembaca

Kelebihan novel ini juga terletak dari cara penulis menggambarkan emosional sang tokoh, sehingga emosi yang disampaikan oleh penulis terkesan nyata dan menarik pembaca untuk ikut terhanyut dalam suasana yang telah diciptakan. Seperti salah satu narasi, “Saat itu juga, tangisnya lepas. Raungnya mengalahkan riung hutan bambu,” pada penggalan narasi tersebut menjelaskan bagaimana tokoh utama sedang dalam suasana hati yang tidak baik, penulis juga menggambarkan bagaimana tokoh tersebut menangis dengan sangat keras, pilu dan getir. Sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami perasaan dari tokoh tersebut.

Uniknya, novel ini juga menggunakan bahasa daerah sesuai dengan latar tempat dalam cerita tersebut. Pengemasan bahasa Minang menambah poin baru dalam cerita ini, karena dengan hak tersebut akan memperkuat suasana pembaca dalam menghayati setiap narasi dalam cerita tersebut. Penggalan dialog yang menggunakan bahasa Minang seperti, “bodoh sekali waang….” menambahkan kesan budaya Minang yang kental. Sehingga, pembaca seolah diikutsertakan dan diajak berpetualang ke kota Padang, Sumatera Barat.

Mengajarkan Pembaca Terhadap Hukum Tabur Tuai Kepada Pembaca

Novel ini juga dipercantik dengan quotes yang terdapat pada setiap bagian awal cerita. Meskipun novel ini secara keseluruhan menggambarkan tentang ayah dan ibu, quotes yang ditampilkan justru dibuat dengan unsur-unsur sarkas terhadap anak, seperti pada episode 19, “Menanya kabar kekasih, kau bisa setiap jam. Menanya kabar orangtua, sekali sehari saja masa tak bisa?”

Namun, novel ini juga masih memiliki beberapa kelemahan seperti, penggunaan dua sudut pandang yang dapat membuat pembaca merasakan kebingungan.

Cerita ini sangat cocok untuk semua kalangan, khususnya bagi para calon orang tua sebagai pedoman untuk melanjutkan kehidupan sebagai orang tua. Setelah menamatkan novel ini, pembaca dapat memahami bahwa setiap kebaikan yang kita tuai akan ada keberkahan yang kita dapat. Setiap perjuangan yang dilalui, akan ada hasil indah yang diraih meskipun perjalanannya tidak mudah. Sama seperti kisah Asrul dan Zenna yang akhirnya mencapai kebahagiaan mereka.

 

Penulis: Melody Azelia Maharani

Editor:  Febriyanti Musyafa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini