Belum lama ini, salah satu rektor Universitas Pancasila (UP), Prof. Dr. Edie Toet Hendratno, SH., M.Si., FCBArb., dipanggil oleh Polda Metro Jaya sebagai terduga pelaku Kekerasan Seksual. Laporan tersebut diterima oleh Polda Metro Jaya pada 12 Januari 2024. Sayangnya, hal tersebut malah dianggap janggal karena memiliki jangka waktu hampir satu tahun dari kejadian kekerasan seksual terjadi, yang mana kejadian sebenarnya yaitu Februari 2023 silam.
Padahal, adanya jangka waktu antara kejadian dan pelaporan yang dibuat oleh korban dipengaruhi oleh berbabagi aspek. Menurut Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan, menjelaskan terdapat alasan dibalik tertundanya pelaporan kasus yang dialami oleh korban kekerasan seksual. Salah satu faktornya adalah bahwa setiap korban kekerasan seksual memiliki respon yang berbeda-beda atas peristiwa yang dialaminya, seperti kehilangan kesadaran, membuat perlawan langsung, hingga histeris.
Veryanto juga mengungkapkan bahwa trauma bisa menjadi salah satu alasan mengapa korban memilih untuk bungkam terlebih dahulu, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk membuat laporan.
“Untuk korban yang melaporkan kasusnya beberapa saat setelah kejadian menunjukkan bahwa korban kecenderungannya mengalami trauma, sehingga korban membutuhkan waktu untuk memupuk keberanian dan berani bersuara,” tambah Veriyanto, kepada LPM Gema Alpas, Jumat, (01/03/24).
Relasi Kuasa Menjadi Faktor Bungkamnya Korban
Pada kasus kekerasan seksual seringkali melibatkan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Dalam hal ini, Veryanto juga menjelaskan bahwa biasanya pelaku memiliki relasi kuasa atas korban, sehingga korban kekerasan seksual cenderung menahan diri untuk tidak melaporkan kepada pihak manapun.
“Pelaku kekerasan seksual umumnya memiliki relasi kuasa terhadap korban. Karena itu korban tidak selalu siap untuk melaporkan kasusnya, karena korban khawatir akan ada dampak lanjutan yang menyasar. Ini juga yang menjadi salah satu faktor membuat korban delay bersuara dan melaporkan kasusnya.” Jelas Veryanto.
Perlunya Dukungan Publik Agar Korban Tidak Merasa Disangkal
Bagi korban kekerasan seksual, opini publik juga menjadi momok yang menyeramkan. Tidak jarang victim blaming dari lingkungan sekitar malah membuat korban merasa takut akan diragukan kebenarannya. Sehingga, hal tersebut membuat rasa trauma yang mendalam serta akan terus menempel dalam psikis korban.
Oleh karena itu, Veryanto menjelaskan opini publik juga harus mendukung korban karena hal tersebut dapat membantu korban dalam proses pemulihan dan mendapatkan keadilan. “Keberanian korban untuk bersuara mestinya didukung karena korban sesungguhnya sedang berjuang mengalahkan ketakutan, trauma dan mencoba bangkit mendapatkan rasa percaya diri.” Tambah Veryanto.
Veryanto juga turut menjelaskan bahwa tidak ada alasan untuk menyangkal, meragukan dan membungkam korban. Dukungan publik terhadap korban akan membantu korban mendapatkan pemulihan dan keadilan
Penulis : Ananda Rizka & Aisha Balqis