Pemilu 2024 sudah di depan mata, masyarakat Indonesia tengah diramaikan dengan banyaknya kampanye terkait pemilu yang berlangsung dari November 2023 hingga 10 Februari 2024. Kampanye politik kerap dilakukan oleh kandidat calon presiden (capres) untuk menarik perhatian masyarakat yang mana nantinya diharapkan dapat memilih mereka di tanggal 14 Februari 2024.
Generasi Z menjadi salah satu fokus utama para capres, sebab banyak dari mereka yang menjadi pemilih pemula dan suaranya pun akan sangat berpengaruh. Untuk itu, tiga kandidat capres ini membuat strategi kampanye yang memadukan politik dan hiburan, atau dikenal sebagai politainment.
Mengenal Politainment
Politainment menurut David Schultz (2012) dalam kompas.com adalah strategi komunikasi politik kontemporer yang menyatukan politik dan entertainment. Berdasarkan hal ini, para capres memanfaatkan media dan platform media hiburan untuk menaikkan pamor dan daya tarik agar diterima oleh Gen Z. Para artis yang terjun dalam dunia politik pun, turut andil memanfaatkan ketenarannya untuk mendapat suara masyarakat.
Pesan kampanye politik yang disajikan dengan sentuhan politainment biasanya menggunakan bahasa yang lebih santai dan menarik. Serta menghadirkan elemen-elemen hiburan seperti musik, video, dan meme. Kampanye semacam ini juga sering kali mengandalkan unsur humor dan sindiran untuk menyampaikan pesan politik. Pendekatan ini bertujuan menciptakan pengalaman yang lebih personal dan interaktif, sehingga menjembatani kesenjangan antara politik konvensional dan preferensi generasi yang lebih muda.
Gen Z: Pemilih Cerdas Berteknologi
Setiap menjelang tahun politik, generasi muda selalu menjadi rebutan para politikus. Para calon presiden atau wakil presiden akan berusaha mendapatkan perhatian dan menyesuaikan dengan karakteristik generasi tersebut.
Generasi Z menjadi kekuatan utama di Indonesia pada demokrasi 2024, sebab dikenal sebagai generasi yang kritis dan cerdas dalam menggunakan teknologi serta memiliki preferensi konsumsi konten yang berbeda.
Melihat potensi ini, politisi berlomba-lomba untuk merangkul Gen Z melalui politainment untuk menarik perhatian dan mendapatkan dukungan dalam arena politik.
Merujuk pada hasil rekapitulasi DPT KPU (Daftar Pemilih Tetap Komisi Pemilihan Umum), mayoritas pemilih 2024 didominasi kelompok milenial dan Gen Z. Sebanyak 66 juta lebih adalah pemilih generasi milenial dan sejumlah 46 juta lebih merupakan pemilih Gen Z. Oleh karena itu, para politisi memanfaatkan politainment untuk menarik perhatian dan meraih dukungan mereka.
Politik atau Hiburan Semata?
Politainment mengecilkan makna dari aspek-aspek yang telah melekat di masyarakat. Politik yang sebelumnya berfokus pada program, data, aspek kredibilitas dan kapabilitas, kini berubah haluan menjadi hiburan.
Media, dalam hal ini cenderung memusatkan perhatian pada elemen-elemen politik yang dapat menghibur penonton. Momen-momen dari para politisi pun dieksploitasi untuk dijadikan konten yang menghibur. Transformasi ini mengubah panggung politik menjadi pentas seni, di mana batas antara peran politisi dan selebritas menjadi semakin samar.
Kehadiran politainment justru menjadikan pemimpin sebagai tokoh artifisial yang hanya berfungsi sebagai pembela rakyat secara semu, sehingga sistem politik tidak lagi berorientasi pada substansi. Untuk itu, tidak ada eksplorasi mendalam bagaimana keberpihakan kepada rakyat dapat menjadi solusi bagi permasalahan di lapangan. Pergeseran ini pun melanggar etika dalam dunia jurnalistik, termasuk dalam penyiaran. Sebab berita atau konten yang ditampilkan, mayoritas mengikuti si pemilik media atau kaum elit politik.
Fenomena politainment pada hakikatnya membawa dampak serius. Adanya kekhawatiran bahwa politainment dapat mengurangi nilai penting dari berbagai aspek, mengakibatkan politik tidak lagi berkutat pada program, visi, data, dan kompetensi, serta kapabilitas para politisi.
Meskipun politainment membawa inovasi dan daya tarik yang signifikan, namun terdapat risiko yang tidak kalah besar seperti, pengalihan isu-isu substansial, ambiguitas antara hiburan dan pesan politik sebenarnya. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan yang tepat agar politainment bukan hanya sebagai alat untuk menarik perhatian, melainkan juga sebagai sarana untuk menyampaikan pesan politik yang berbobot dan relevan.
Penulis: Apwina Shintia Kapisa
Editor: Melody Azelia