Warga Sangihe bersama koalisi Save Sangihe Island dan beberapa kelompok lainnya seperti Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Greenpeace, dan Diaspora Sangihe lainnya melakukan aksi di depan Mabes Polri pada Selasa, 27 Juni 2023.

Aksi ini berkaitan dengan tindakan yang di lakukan oleh PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) akibat tetap berjalannya operasional tambang walaupun telah kalah dalam persidangan. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim Agung MA RI menyatakan dengan jelas menolak upaya perlawanan Kasasi Menteri ESDM RI dan PT TMS dan mengabulkan gugatan warga Pulau Sangihe yang sebelumnya telah menang pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta.

Namun, kendati izin perusahaan telah dicabut, PT. TMS masih saja melakukan penambangan di Pulau Sangihe yang sebetulnya adalah wilayah ilegal untuk melakukan penambangan karena luas wilayah yang terbilang kecil, yaitu hanya 736,98 km².  Sebagaimana termaktub dalam UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah diperbarui dengan UU No 1 Tahun 2014 bahwa terdapat pertimbangan penting dari Majelis Hakim terkait pulau kecil dan perairannya. Tertulis peraturan dalam isi UU tersebut bahwa pulau kecil dengan luasannya sama atau lebih kecil dari 2.000 (Dua Ribu) km2 dilarang bagi kegiatan pertambangan.

Dari putusan itu lah yang menjadi cikal bakal protes mengenai penambangan di Sangihe ini. Tidak hanya itu, dugaan keterlibatan pihak kepolisian juga menjadi hal yang memperkeruh masalah ini. PT TMS berdalih pengurusan masih dapat dilakukan dengan izin baru dan memaksakan keinginan dengan membuat MoU bersama Polda Sulut untuk meminta pengawalan proyeknya. Bahkan, koalisi menemukan bahwa salah satu anggota polisi sempat aktif menjadi kuasa hukum Terry Filbert (CEO PT TMS) dalam kasus tanah lain. Kebenaran pun satu persatu terungkap, bahwa anggota polisi tersebut memiliki saham di PT TMS yang sudah terdaftar di Kemenkumham.

Kegiatan pertambangan tanpa izin di Pulau Kecil Sangihe ini sesungguhnya sudah dilaporkan ke tingkat Polres hingga Mabes Polri pada 21 November 2022 lalu. Tetapi sampai saat ini belum ada tindakan hukum yang diputuskan. Justru alat berat yang awalnya hanya belasan kini meningkat menjadi puluhan.

Excavator sebanyak kurang lebih 20 kini beroperasi mengobrak-abrik pulau kecil yang berbatasan dengan Negara Filipina. Hal ini memperkuat dugaan keterlibatan oknum aparat polisi yang seolah menutup mata dan melakukan pembiaran kegiatan melanggar hukum tersebut dengan mengorbankan banyak rakyat Sangihe.

Perlu diketahui bahwa kasus ini bukan lah kali pertama yang menyiksa warga Sangihe dari tahun-tahun sebelumnya bahkan hingga saat ini. Sebelumnya MA juga pernah membuat putusan hukum yang sama atas gugatan warga Pulau Kecil Bangka di Minahasa Utara, Sulawesi Utara melawan PT Mikgro Metal Perdana (MMP) asal Tiongkok yang menang berturut-turut. Mulai dari Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 211/G/2014/PTUN-JKT pada 14 Juli 2015, Putusan Pengadilan Tinggi TUN pada tanggal 14 Desember 2015  hingga Putusan Mahkamah Agung Nomor 255K/TUN/2016 tanggal 11 Agustus 2016.

Hal yang serupa juga menimpa warga Kabupaten Dairi, Sumatra Utara yang lahan pertaniannya terancam oleh pertambangan seng dan timah hitam milik PT. Dairi Prima Mineral (DPM) yang persetujuan lingkungannya difasilitasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Persetujuan Lingkungan PT DPM ternyata telah diterbitkan terlebih dahulu oleh KLHK pada tanggal 11 agustus 2022 jauh sebelum warga Dairi beraudiensi dengan KLHK pada tanggal 24 Agustus 2022, namun hal tersebut tidak disampaikan oleh pihak dari KLHK saat audiensi.

Keputusan KLHK untuk tetap menerbitkan Persetujuan Lingkungan PT DPM ditengah perjuangan warga yang terus menolak kehadiran tambang di kampung mereka serta kebohongan yang dilakukan KLHK adalah cermin betapa negara hanya mementingkan investasi dan mengesampingkan kesejahteraan warganya sendiri.

Gugatan warga Dairi atas terbitnya Persetujuan Lingkungan PT. DPM terus berlanjut. Pada Rabu, 21 Juni 2023 agenda persidangan di PTUN Jakarta adalah Pembuktian ahli dari penggugat (warga Dairi) dan saksi dari tergugat (KLHK).

Beberapa kasus terkait pertambangan ini menjadi bukti ke ugal-ugalan industri pertambangan bersama pemerintah serta aparatnya dalam memberi keleluasaan bagi para oligarki untuk semakin berkuasa di negeri ini.

 

Oleh: Raihan Fadilah

Editor: Nabila

https://www.instagram.com/p/Ct9YAlaRf9g/?utm_source=ig_web_copy_link&igshid=MzRlODBiNWFlZA==

https://www.instagram.com/p/CtyEnz1RVdI/?utm_source=ig_web_copy_link&igshid=MzRlODBiNWFlZA==

https://www.instagram.com/p/CttmLh3xSpA/?utm_source=ig_web_copy_link&igshid=MzRlODBiNWFlZA==

https://www.jatam.org/rakyat-menang-pt-tambang-mas-sangihe-harus-angkat-kaki-dari-pulau-kecil-sangihe/

https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/5438/pp-no-1-tahun-2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini