Narsisme dalam psikohistoris digambarkan sebagai sebuah perilaku seseorang untuk meluaskan kekuatan dan kekuasaannya. Perilaku ini juga dilakukan atas dasar keinginan untuk memperoleh sebuah hak atau perlakuan istimewa. Perilaku ini lebih akrab disebut sebagai sebuah perilaku egois meskipun pada dasarnya narsisisme hanyalah sebuah perilaku untuk mendapatkan pengakuan.
Narsisisme dianggap menyebalkan bukan hanya karena ketidakmampuannya dalam mengenali batasan diri tetapi juga kurangnya empati terhadap orang lain. Sikap narsisme tidak hanya dialami oleh orang biasa ataupun yang sering dilakukan oleh para “selebriti”, tetapi hal ini juga banyak terjadi kepada kaum elit politik, seperti yang kita tahu bahwa elit politik kerap kali memuji dirinya sendiri atau partainya guna untuk mendapatkan perhatian, pengakuan, dan hati masyarakat. Seseorang yang memiliki sikap ini disebut sebagai orang yang narsis.
Narsisisme ini juga terjadi di ranah politik, beberapa kasus narsistik yang melibatkan tokoh politik seperti Donald Trump, Angus, dan salah satunya Megawati.
Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri atau yang kita kenal sebagai Megawati Soekarnoputri merupakan presiden kelima Indonesia yang selalu menjadi perhatian masyarakat Indonesia.
Sosok Megawati selalu menjadi kontroversi bagi masyarakat Indonesia, sosoknya dikenal sebagai seseorang yang narsistik, hal ini terlihat pada beberapa pidatonya yang seringkali memuji dan menjadikan dirinya sebagai contoh atau role model untuk diikuti, seperti pada kasus kelangkaan minyak goreng, di mana beliau menyatakan bahwa dirinya suka menggunakan alternatif lain untuk memasak dengan cara merebus atau mengkukus.
Sikap narsistik Megawati juga terlihat pada HUT Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke-50, dalam pidatonya beliau seringkali menegaskan posisinya sebagai Ketua umum PDIP. Beliau kerapkali membahas nasib baik Jokowi sebagai bentuk dukungannya, sehingga hal ini mencerminkan hutang budi keluarga Jokowi kepadanya.
“Pak Jokowi juga kalau gak ada PDI Perjuangan juga, aduh kasihan deh” ujar Megawati pada HUT PDIP ke-50 (YouTube Tribunnews).
Megawati merasa bahwa dia banyak dianugrahi gelar yang baik seperti dia adalah perempuan yang cantik, pintar, dan karismatik. “Untung aku ini cantik loh, jadi kalau aku mau Selfie pasti pengikutku akeh, kenapa? Karena satu, perempuan. Dua, cantik. Tiga, karismatik” (YouTube Kompas TV).
Melansir dari Kumparan, pada peresmian kapal Rumah Sakit Terapung Laksamana Malahayati dan Kapal Kesehatan di Tanjung Priok Sabtu, (10/06). Megawati mengakui bahwa dirinya dijuluki sebagai wanita terkuat satu-satunya di dunia karena Margaret Thatcher dan lainnya sudah meninggal dunia.
Hal ini semakin memperkuat spekulasi masyarakat mengenai sikap narsistik, egois dan dominasi dari presiden kelima Indonesia ini. Meski begitu, Megawati tidak merasa terintimidasi oleh kecaman masyarakat Indonesia terhadap dirinya.
Narsisme dalam dunia politik berhasil menyoroti beberapa pihak terkait selain Megawati. Dilansir dari Pikiran Rakyat, Jokowi dan Luhut juga dianggap menjadi orang yang narsistik, hal ini dibuktikan dengan ucapan Amien Rais yang mengatakan bahwa Jokowi dan Luhut narsis “Megalomania itu membayangkan yang besar-besar, saya lihat ini, maaf ya Saudara Jokowi dan Luhut, Anda berdua ini harus mengaca diri, tanya kepada psikolog-psikolog yang objektif apakah kalian berdua itu sedang menderita narsistik megalomania tadi,” ucapnya.
Narsistik megalomania merupakan salah satu gangguan kejiwaan yang membuat pengidapnya sulit membedakan kenyataan dan khayalan. seseorang yang mengalami masalah ini sulit untuk membedakan kenyataan dan khayalan. Bahkan, semua hal yang dirasakan miliknya ternyata tidak sesuai dengan keadaannya.
Erick Thohir juga ikut berada dalam jajaran orang narsistik, hal ini pernah disampaikan oleh anggota PDIP bahwa Erick Thohir adalah menteri narsis karena kerapkali berfoto di fasilitas publik dengan menyuarakan isu-isu politiknya. Banyak juga beberapa tokoh politik yang juga menjadi narsisme sebagai strategi dengan melirik para artis yang memiliki popularitas di masyarakat dan menjadikannya kader partai agar mendapatkan perhatian dari sifat narsis politiknya tersebut.
Narsisme Menjadi Daya Politik?
Narsisisme di kalangan politik bukan hal yang biasa lagi, narsisme seolah menjadi daya tarik tersendiri bagi partai politik untuk mendapatkan kekuasaan. Hal ini dibuktikan dengan tahun-tahun politik, sikap narsistik politikus akan lebih terlihat pada tahun-tahun politik atau menjelang pemilihan umum.
Manifestasi narsisme politik juga bisa dilihat dari berkoarnya pemimpin-pemimpin partai untuk menyuarakan ide, gagasan, dan pemikiran yang seolah berpihak kepada rakyat secara tulus. Tetapi nyatanya, jika diamati secara seksama, hal ini mempunyai maksud dan tujuan guna menaikkan citra partai dan meraih dukungan rakyat demi Pemilu. Di sini pulalah terlihat daya dari narsistik yang digunakan politikus untuk membentuk citra baik tanpa memikirkan dan memedulikan relasi citra yang dibangun dengan realitas sebenarnya.
Kacamata realita berkata bahwa sudah terbukti berulang kali bahwa citra yang dibangun begitu berbeda bahkan bertolak belakang dengan realitas sesungguhnya. Citra seringkali terputus dari realitas yang diciptakan. Kesenangan melihat citra diri inilah yang menyeret ke zona narsisisme politik. Pada tahun ini contohnya, Puan menganggap bahwa Ganjar adalah sosok Calon Presiden (Capres) yang narsis, hal ini terlihat dari bagaimana Ganjar selalu memperlihatkan kegiatan kampanyenya atau blusukannya di sosial media guna mendapatkan simpati masyarakat.
Melansir dari Kompas, Puan memberikan sindiran halus kepada Ganjar Pranowo “Terkadang-kadang itu kita suka yoweslah (yasudahlah) dia saja asal ganteng, dia saja yang dipilih asal bukan perempuan, dia saja walau tidak bisa apa-apa yang penting kalau di sosmed dan tv nyenengin. Tetapi tidak bisa kerja dan nyenengin rakyat. Mau enggak kayak itu,” kata Puan di depan ribuan kader PDI-P Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Selasa (26/4/2022).
Panggung politik tampaknya jauh lebih menyenangkan dibandingkan panggung pentas, terlihat dari berbagai drama yang disuguhkan, ada kawan yang mengaku lawan, ada pula kawan yang ternyata lawan. Namun, apakah tokoh politik selalu memiliki sikap narsistik?
Dilansir dari Antara News, Surokim Abdussalam menilai bahwa, “Era narsis sepertinya sudah bukan lagi zamannya. Parpol silahkan buat pesan politik sekreatif mungkin,” ia juga menekankan untuk hindari pesan selfie dan narsistik agar pesan-pesan politik dapat lebih halus dan berdimensi publik agar menjadi daya persuasif positif.
Lantas, Apakah era narsistik ini akan terus berlanjut hingga Pilpres tiba atau bahkan lebih meninggi dengan memanfaatkan media sosial?
Penulis: Risma Amalia Ulfa Dewi
Editor: Febriyanti Musyafa
Sumber/Referensi:
https://m.kumparan.com/amp/gigih-imanadi-darma/narsisme-iwan-bule-cerminan-politisi-kita-1yfXIoQukQl
https://aceh.tribunnews.com/amp/2013/04/09/narsisme-politik-dan-retaknya-demokrasi
https://www.alinea.id/amp/politik/pamer-kemenangan-pemilu-jokowi-dinilai-narsis-b2ftB9Ibn
https://aceh.tribunnews.com/amp/2013/04/09/narsisme-politik-dan-retaknya-demokrasi
https://www.halodoc.com/artikel/7-fakta-narsistik-megalomania-yang-haus-kekuasaan