Bulan Februari dikenal sebagai bulan romantis bagi sebagian besar masyarakat, sayangnya di Indonesia sendiri tidak banyak yang mengetahui bahwa pada bulan tersebut terdapat perayaan bagi para pekerja yang memperjuangkan hak-haknya.
Sebagaimana yang tertulis dalam Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 9 Tahun 1991, setiap tanggal 20 Februari diperingati sebagai Hari Pekerja Indonesia.
Hari Pekerja Indonesia (Harpekindo) diperingati sebagai bentuk apresiasi bagi seluruh pekerja yang berada di bawah naungan suatu negara. Hadirnya peringatan ini bermula dari lahirnya Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang merupakan tonggak sejarah bersatunya pekerja di seluruh Indonesia.
Selain Harpekindo, 20 Februari bertepatan dengan peringatan Hari Keadilan Sosial Sedunia. Peringatan ini ditetapkan langsung oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 26/11/2007. Tujuan dibentuknya peringatan ini sebagai pendorong dialog dari berbagai pihak dan para pemangku kepentingan, terkait tindakan untuk mengatasi ketimpangan yang terus meningkat di berbagai negara.
Sayangnya, perayaan ini tidaklah begitu dimaknai oleh banyak orang sehingga berbagai ketimpangan masih terlihat jelas. Bahkan problematika yang terjadi berbuntut krisis ekonomi, meningkatnya indeks pengangguran, kemiskinan, diskriminasi hingga kurangnya partisipasi dalam ekonomi global.
Pekerja Lokal Bagaikan Orang Asing di Negeri Sendiri
Permasalahan sosial yang terjadi tak jarang menimbulkan konflik serius dan berkepanjangan. Belum lama ini terjadi kasus yang melibatkan PT. Gunbuster Nickel Industri (GNI), karena adanya ketidaksetaraan hingga diskriminasi dan intimidasi pihak perusahaan terhadap pekerja pribumi.
Berdasarkan laman Alineaa, PT GNI merupakan perusahaan pengolahan nikel asal China, Tony Zhou Yuan yang berdiri 2019 merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) Indonesia dalam bidang hilirisasi mineral dan tambang dengan investasi dana sekitar US$3 miliar untuk membangun smelter di Kawasan Morowali Utara.
Perusahaan asing ini dengan teganya memperlakukan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara bengis, mulai dari membedakan hak antara Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China, fasilitas, upah hingga sikap dan peraturan dalam perusahaan. Buntutnya, terjadi bentrokan antara TKI dan TKA pada (14/01/2023) menewaskan dua nyawa pekerja; TKA berinisial Xe dan TKI berinisial MS.
Sayang seribu sayang, pemerintah bukannya menyelesaikan permasalahan, Bupati Morowali Utara Delis Julkarson Hehi, justru sibuk menuduh adanya provokator di balik kerusuhan ini. Bahkan, para pemimpin tanah air lainnya seperti Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hingga Presiden turut melakukan hal serupa.
Selain itu, menurut salah satu pekerja dari perusahaan di bidang Pelatihan Bahasa dan Perjalanan Edukasi, Aprillia, mengatakan bahwa minimnya transparansi mengenai upah dan penjelasan mengenai kontrak kerja kerap kali menjadi hambatan.
“Kurang transparansi mengenai gaji, banyak karyawan yang buta potongan pajak itu apa aja, istilah-istilahnya, cara lapor pajak gimana. Dan kadang kalau bukan pegawai tetap, kontraknya bisa setahun sekali dibuat adendum yang merubah ketentuan kontraknya. Cuma mestinya waktu awal tanda tangan kontrak dijelasin potongannya apa aja, jadi pas dapet payslip pertama gak kaget,” terang Aprillia.
Tidak hanya kasus di atas, ternyata pelanggaran hak ketenagakerjaan sudah terjadi sejak lama. Hal ini dibuktikan dengan adanya catatan dari Komnas HAM yang menyebutkan bahwa korporasi berada di posisi kedua sebagai pelaku pelanggaran.
“Pertama kepolisian. Ini paling tinggi. Kemudian, korporasi yang kedua. Yang ketiga adalah pemerintah pusat,” terang Anis Hidayah, Koordinator Subkomisi Pemajuan Komnas HAM.
Menurut Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi, mengatakan, adanya pelanggaran aturan ketenagakerjaan terjadi lantaran lemahnya pengawasan dari pusat dan juga kurangnya jaminan kesejahteraan para pekerja lokal, terutama pada perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia
“Pekerja lokal jangan kontrak. Kalau kontrak bisa semena-mena perusahaan asing. Sementara pekerja asing pasti diawasi ketat oleh mereka. Kalau mau konsisten dengan Perppu Cipta Kerja, harus ada perlindungan yang kuat dari pemerintah,” jelasnya.
UU Ciptaker Ramah Pekerja Perempuan?
Perppu Nomor 2 yang diterbitkan pada 2022 lalu banyak mengundang perhatian publik. Perppu ini dianggap sebagai ancaman besar bagi kesejahteraan pekerja perempuan, karena dinilai cacat formil dengan banyak pasal-pasal yang dianggap tidak berpihak kepada pekerja; waktu kerja yang tidak diatur, cuti haid dan melahirkan bagi perempuan.
Alih-alih membawa angin segar, nyatanya kehadiran Perppu ini justru menjadi petaka bagi pekerja perempuan. Banyak hak-hak yang dilenyapkan dengan dalih dapat disesuaikan dalam perjanjian. Pada kenyataannya hal tersebut menjadi tambang emas bagi korporasi. Bagaimana tidak? Jika pengusaha atau pemilik perusahaan akan memiliki kesempatan besar dalam menggunakan tenaga kerja para buruh dengan ketentuan dari pihak mereka.
Jelas saja yang dirugikan adalah pekerja kecil dalam sebuah perusahaan, belum lagi perusahaan tidak menanggung beban psikologi yang dirasakan. Ketimpangan juga sering terjadi dalam sebuah perusahaan, bahkan diskriminasi terhadap perempuan.
Hak maternitas yang mencakup pada fungsi reproduksi, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui pada perempuan merupakan tanggung jawab semua pihak terutama negara. Karena hak ini bukan hanya sekedar sebagai pemenuhan hak asasi manusia, melainkan berlangsungan kehidupan manusia dan bangsa, pemenuhan prinsip keadilan substantif berbasis gender sehingga tidak boleh berdampak pada pembakuan peran gender perempuan di ruang domestik, pembatasan pemenuhan hak bekerja dan berserikat bagi perempuan bekerja
Sayangnya, dalam pemenuhan hak tersebut tidak terlalu dirasakan oleh sebagian pekerja di Indonesia. Pasalnya, sebagian perusahaan terutama pada masa pandemi mempersulit ]pekerja perempuan yang ingin mengambil masa cuti. “Maternity leave sih, kalo yang lainnya belum pernah. Paling pas pandemi aja memang susah banget mendapatkan hak cuti,” ujar Aprillia.
Redupnya Keadilan Bagi Pekerja
Peringatan Harpekindo dan keadilan sosial tidak akan lengkap tanpa hak-hak pekerja. Pelanggaran yang terjadi pun bukan hanya terjadi di negeri merah putih, melainkan di beberapa negara lain pun turut merasakan hal serupa.
Salah satu perusahaan yang akhir-akhir ini menjadi perhatian publik karena akuisisi nya dan sejumlah kontroversi dengan para pekerjanya sempat menyulut atensi. Laman Twitter yang kini diambil alih oleh Elon Musk dinilai melanggar hak para pekerja. Pasalnya, orang yang dikenal sebagai pentolan Tesla ini tidak memenuhi standar kinerja dan produktivitas, serta memberhentikan ribuan pekerja kontrak secara sepihak tanpa adanya pemberitahuan 60 hari sebelumnya, seperti yang disyaratkan undang-undang federal.
Sementara itu, adapun permintaan Elon agar karyawan bekerja “lebih lama dengan intensitas tinggi” serta menghentikan bekerja jarak jauh. Hal ini dianggap Dmitry Borodaenko, Manajer Teknik yang berbasis di California, sebagai diskriminasi terhadap karyawan disabilitas.
Dalam hal ini Dmitry diberhentikan oleh Twitter dan mengajukan class action terhadap Twitter di pengadilan federal San Francisco karena telah melanggar undang-undang disabilitas di Amerika Serikat.
Adapun pelanggaran hak bagi para karyawan magang di jepang karena menyalahi perjanjian kontrak kerja seperti pemotongan upah yang tidak wajar, minimnya perlindungan sehingga menimbulkan kekerasan fisik maupun verbal, hingga pelecehan seksual yang tidak digubris oleh pihak perusahaan.
Perayaan Semu; Ada Tapi Tidak Terasa
Hari menjelang gelap, seakan tidak ada alat bantu yang dapat menyinari ruangan yang gelap nan sunyi. Hanya ada suara lirih nan samar meminta pertolongan agar haknya tak lenyap.
Semua janji-janji manis yang hanya sebatas kata atau peraturan terkutuk yang tertulis di atas kertas putih dapat berubah dengan pertolongan orang-orang yang masih peduli dengan keadaan mereka.
Yang mereka butuhkan adalah uluran tangan atau suara lantang seseorang yang bisa mengubah mereka, setidaknya memberikan jaminan bahwa harapan semu bisa diubah menjadi harapan nyata; bahwa kesemuan itu hanya bersifat sementara.
….
Peringatan yang ada seharusnya menjadi sebuah perayaan bahagia bagi para pekerja dan seluruh warga Indonesia; menyambut kesejahteraan dalam kehidupan sosial dengan suka cita. Sayangnya hal tersebut hanya menjadi janji-janji semu yang selalu dinantikan setiap tahunnya.
Keadilan dan perlindungan yang seharusnya menjadi hak setiap insan pekerja lenyap karena kehausan dan ketamakan para penguasa. Perayaan yang setiap tahunnya diadakan bagaikan angin di siang bolong; ada tapi tidak terasa.
Penulis : Febriyanti Musyafa & Aisha Balqis
Editor : Febriyanti Musyafa & Aisha Balqis