9 Desember menjadi Hari Anti Korupsi Sedunia atau biasa disebut Harkodia. Dilansir dari United Nations, Harkodia mulai terbentuk ketika Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyadari kerugian yang disebabkan oleh korupsi. Sehingga, diselenggarakannya rapat oleh PBB pada 31 Oktober 2003 dan menetapkan 9 Desember menjadi Hari Anti Korupsi Internasional.
Peringatan Hari Anti Korupsi ini sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran anti korupsi masyarakat serta aparat yang berwenang dalam menanggulangi korupsi. Hal ini dikarenakan kasus korupsi setiap tahun semakin meningkat dengan kerugian yang besar. Berdasarkan data Indonesian Corruption Watch (ICW) pada laman berita Kompas, terdapat 1.298 terdakwa kasus korupsi di Indonesia sepanjang tahun 2020.
Dilansir dari databoks, laporan ICW memaparkan kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp26,83 triliun pada semester satu 2021. Jumlah ini meningkat 47,63% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu sebesar Rp18,17 triliun.
Mitos Kuno Tentang Korupsi dan Ceritanya Pada Zaman Dulu
Melihat kembali pada sejarah, korupsi adalah bagian yang tidak dapat terelakkan dari sifat manusia. Praktik korupsi setua sejarah manusia itu sendiri. Dilansir dari theconversation, Dinasti pertama Mesir (3.100-2.700 SM) merupakan pemerintahan paling awal yang pada dokumennya tercatat kasus korupsi dalam peradilannya.
Kasus yang serupa terdapat pada cerita mitos sejak zaman Cina kuno. Mitologi Cina percaya bahwa setiap rumah tangga memiliki seorang “Dewa Dapur” yang mengawasi perilaku dari setiap anggota di rumah. Seminggu sebelum Tahun Baru Cina, Dewa Dapur akan naik ke surga untuk memberikan laporan tahunannya pada Kaisar Giok, Sang Penguasa Surga. Kaisar Giok kemudian menghadiahi atau memberi hukuman pada tiap keluarga berdasarkan laporan Dewa Dapur. Sebelum Dewa Dapur memulai perjalanannya menuju surga, banyak keluarga di tiap rumah yang melumuri mulut beliau dengan kue dari gula dan madu sebagai usaha untuk menutup mulutnya dan menyuapnya untuk memberikan laporan yang baik pada Kaisar Giok.
Korupsi di Penjuru Dunia
Dengan berkembangnya ekonomi global secara signifikan selama abad ke-20, tingkat kasus korupsi pun turut naik. Sayangnya, sangat sulit untuk mengestimasi dan mendata secara detail akan besar dan banyaknya korupsi secara global, karena baik penyuap dan penerima suap memiliki kepentingan pribadi untuk memastikan bahwa kegiatan suap menyuap tetap rahasia.
Dilansir dari theconversation, Bank Dunia memperkirakan kasus penyuapan hingga saat ini telah melampaui US$1,5 triliun (sekitar Rp22.000 triliun) setiap tahunnya. Transparansi Internasional (TI) memperkirakan bahwa mantan Presiden Indonesia, Suharto menilap sekitar US$15 atau 35 miliar. Mantan Presiden Filipina, Ferdinand Marcos, Mobutu Sese Seko dari Zaire, dan Sani Abacha dari Nigeria mungkin telah menggelapkan masing-masing sebesar US$5 miliar.
Dalam studi lain yang dilakukan oleh TI pada 2017 menunjukkan bahwa secara global, sekitar sepertiga populasi orang di seluruh dunia memandang bahwa presiden, perdana menteri, pegawai negeri daerah ataupun nasional, pemimpin bisnis, anggota parlemen, dan polisi melakukan korupsi.
Dampak Korupsi Bagi Pengembangan Sains
Korupsi dan perkembangan sains di suatu negara memiliki keterkaitan. Makin tinggi angka korupsi di suatu negara, sains di negara tersebut sulit berkembang. Para calon ilmuwan berbakat terjebak dalam sistem yang korup dan tidak menghargai inovasi.
Hal ini menyebabkan terjadinya salah alokasi sumber daya di Indonesia. Sarjana pertanian lebih tertarik bekerja sebagai bankir dan politikus ketimbang bekerja meningkatkan produksi pangan dan inovator di bidang pangan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kinerja Indonesia di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Penyebab itu antara lain berbagai kendala yang dihadapi perguruan tinggi dalam riset, rendahnya anggaran riset, kekurangan peneliti berbakat, dan lemahnya minat dan budaya inovasi. Hal tersebut disebabkan oleh faktor korupsi.
Hubungan antara keterbelakangan sains dan sistem korup Indonesia tercermin dalam hasil survei antikorupsi, jumlah publikasi ilmiah, paten, dan indeks inovasi global. Dilansir dari theconversation, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menurut riset Transparency International pada 2016 menduduki peringkat ke-90 dari 176 negara. Di kawasan ASEAN, rata-rata Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dalam lima tahun terakhir berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Mengapa Masalah Korupsi Tak Kunjung Terselesaikan?
Meningkatnya koruptor dikarenakan para terpidana tidak merasakan efek jera karena penanganan kasus korupsi oleh pemerintah semakin buruk. Penanganan dengan hukuman badan atau kurungan penjara bagi para koruptor masih terlalu ringan sehingga penegasan peraturan untuk pidana sangat diperlukan. Disampaikan oleh Laola Easter, peneliti ICW pada Kompas “Ini tentu kembali menegaskan masih ada masalah serius soal komitmen negara untuk memulihkan kerugian keuangan negara, dan merampas aset-aset yang diduga dari kejahatan dalam hal ini tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Dilansir dari Tempo, Abraham Samad selaku ketua KPK periode 2011-2015 mengatakan bahwa masih terdapat peraturan perundang-undangan yang multitafsir di mana hal tersebut mempengaruhi kepastian dalam pengambilan kebijakan dalam penanganan korupsi. Ia juga memandang bahwa masih lemahnya sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia belum maksimal akibat belum seimbangnya penegakan hukum dengan upaya pengembalian kerugian negara yang dikorupsi.
Dengan diperingatinya Hari Anti Korupsi Sedunia, diharapkan dapat menekan tingginya jumlah koruptor dan kerugian bagi negara. Selamat Hari Anti Korupsi Sedunia, mari bersama wujudkan budaya anti korupsi!
Penulis: Akbar Gilang, Mufiidaanaiilaa A.S
Editor: Nabila