Penyebaran informasi yang akurat sangat diperlukan untuk menjamin fakta dan menghindari misinformasi, disinformasi maupun malinformasi sehingga tidak menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat. Untuk itulah pers dibentuk. Seiring dengan berjalannya waktu, pers semakin berkembang, termasuk pers di Indonesia. Namun bukan berarti tanpa hambatan. Terjaminnya kebebasan pers dan tergesernya fungsi pers mempengaruhi sikap kritis mahasiswa yang dituangkan dalam Pers Mahasiswa (PERSMA).

Bila melihat masa lalu, persma mengambil peranan penting sejak masa orde baru. Di mana mahasiswa yang terkait dalam pers berani mengungkap kebenaran dari berbagai kejadian karena banyaknya fakta penting yang dibungkam. Menutup kebenaran demi keuntungan sering dilakukan, sehingga begitu terlihat bahwa persma memiliki peran penting sebagai penyalur lidah dan tidak berorientasi pada keuntungan. Memegang prinsip independen dan jurnalisme kerakyatan menjadikan andil besar mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi dan menuntut keadilan pada hal yang menyimpang dan memiliki fungsi sebagai kontrol sosial.

Pergerakan mahasiswa bukan hanya melakukan aksi turun di jalan, tetapi menyuarakan pendapat melalui karya. Karena jiwa kritis dan vokal dari mahasiswa harus selalu beriringan, bukan menjadi apatis dan diam untuk memperjuangkan hak-haknya.

Pengaruh persma begitu besar, sebagai contoh pers mahasiswa Balairung di Universitas Gadjah Mada (UGM) soal laporan kekerasan seksual mahasiswa UGM telah memicu diskusi publik mengenai penanganan kasus kekerasan seksual. Tetapi pengaruh besar ini seperti menjadi ancaman sendiri bagi aparat pemerintah hingga berujung pemanggilan polisi.

Perlakuan tidak adil juga dirasakan oleh anggota pers lainnya, salah satunya keganasan polisi yang begitu terlihat pada l jurnalis saat menjalankan tugas meliput protes pengesahan UU Cipta Kerja. Tohirin dari CNN Indonesia mengatakan kepalanya dipukul polisi dan ponselnya dihancurkan saat sedang meliput demonstran yang ditangkap dan dipukuli polisi, padahal selama meliput ia memakai rompi ”PERS”. Ponco Sulaksono, jurnalis Merah Putih yang sempat dikabarkan hilang selama satu hari, lalu diketahui ditangkap polisi dengan terdapat foto matanya lebam dan darah di bagian hidungnya.

Intervensi dan intimidasi terhadap pers semakin tinggi, termasuk pada pers mahasiswa. Dilansir dari Tirto, hasil riset menyebutkan bahwa pada 2014-2016 menunjukan dari 64 pers mahasiswa di Indonesia, 47 di antaranya pernah mengalami kekerasan. Kekerasan tersebut berbentuk intimidasi, ancaman pemecatan, ancaman pembredelan, hingga kriminalisasi. Hasil riset juga menyebutkan pelaku kekerasan yang terjadi didominasi oleh birokrasi kampus (rektorat). Seperti kasus pemecatan anggota Pers Mahasiswa Suara Universitas Sumatera Utara (USU) oleh pihak rektorat pada 2019.

Bahkan untuk menjalankan peran dan fungsi sebagai pers mahasiswa untuk membuka diskusi umum berakhir dengan pembubaran berdasarkan perintah pimpinan kampus. Hal ini terjadi pada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teropong di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) karena menggelar diskusi tentang Papua.

Pers mahasiswa perlu dilindungi agar tidak mematikan jiwa kritis pada mahasiswa. Dilansir dari laman berita Tirto, Sekjen Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Rahmad Ali mengatakan, “Kami menolak segala intervensi terhadap pers mahasiswa dan juga mendesak Dewan Pers memberikan perlindungan terhadap pers mahasiswa dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik.”

Tak hanya pers mahasiswa, intimidasi juga melanda wartawan lainnya. Dilansir dari VOA Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat terdapat 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang Mei 2020 hingga Mei 2021. Angka ini meningkat dari periode yang sama sebelumnya yaitu 57 kasus. Bentuk kekerasan yang dialami jurnalis mulai dari intimidasi, perusakan alat kerja, kekerasan fisik, ancaman dan teror, hingga pemidanaan atau kriminalisasi. AJI mencatat 58 kasus melibatkan polisi sebagai pelaku kekerasan. Salah satu kasus yang pernah terjadi di dunia pers yaitu penyekapan jurnalis Tempo, Nurhadi di Surabaya pada Maret 2021 yang bertugas untuk melakukan investigasi terkait kasus suap Dirjen Pajak di Jakarta.

Kebebasan dan perlindungan pers masih menjadi pertanyaan jika melihat kondisi dari terancamnya kehidupan pers saat ini. Jaminan terhadap kebebasan pers memiliki kausalitas dengan perlindungan wartawan. Tak ada gunanya ada kemerdekaan pers, tapi wartawan tidak merdeka dalam melakukan pekerjaan dan kegiatan jurnalistik sesuai tuntutan profesinya.

“Kebebasan pers, jika itu berarti apa saja, berarti kebebasan untuk mengkritik dan menentang.” – George Orwell

 

Penulis: Faturahman Sophian

Editor: Nabila

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini