Pasca putusan pengadilan yang menyatakan bahwa Fatia-Haris dibebaskan dari segala dakwaan menjadi angin segar bagi sejumlah elemen masyarakat. Pasalnya, di tengah kurungan penguasa kekuasaan, masih ada hakim adil di negeri ini yang dengan lantang menyatakan bahwa Fatia-Haris tidak bersalah.
Fatia-Haris dilaporkan atas pencemaran nama baik pada 2020 lalu, kasus ini memakan waktu yang lama dengan alur birokrasi yang dipersulit. Mulai dari ancaman Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kriminalitas, hingga bayang-bayang ancaman kekuasaan tikus berdasi.
Kedua aktivis ini dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE yang mengatur tentang pencemaran nama baik.
Laporan penuntutan yang dilakukan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan kepada Fatia-Haris, membuktikan bahwa sistem hukum politik di Indonesia masih berpihak kepada penguasa.
Kasus ini seharusnya tidak terjadi, sebab bagaimanapun Fatia-Haris merupakan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Keduanya secara aktif membela dan menegakkan keadilan di negara ini. Indonesia sangat memerlukan aktivis seperti Fatia-Haris, karena tanpa aktivis, demokrasi Indonesia tidak akan hidup.
Berdasarkan media rilis kontraS, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan kasasi atas bebasnya Fatia-Haris dari segala dakwaan melalui rilis resminya kepada Mahkamah Agung pasca putusan bebas pada 10 Januari 2024.
Ahmad Sofian dari Universitas Binus mengatakan, “Kasasi seharusnya tidak dilakukan, sebab di berbagai negara, Jaksa tidak bisa mengajukan upaya hukum terhadap putusan bebas karena unsur-unsur pasalnya tidak ada satupun yang terpenuhi.”
Kasus ini memberikan kesadaran bahwa, kita harus berhati-hati dalam menyampaikan pendapat, UU ITE dapat menjerat siapapun karena hukum Indonesia masih berpihak kepada yang berkuasa. Oleh sebab itu, diperlukan kehadiran aktivis-aktivis muda lainnya untuk menegakkan ketidakadilan di Indonesia.
Penulis: Febriyanti Musyafa