Dibalik maraknya konsumsi konten singkat dan viral di media sosial, muncul fenomena yang timbul tanpa disadari. Fenomena “brain rot” atau pembusukan otak menjadi tantangan baru ditengah maraknya pengguna media sosial dan arus konten digital yang cepat. Fenomena ini menjadi masalah dan perhatian para pakar kesehatan mental. Dilansir dari beberapa sumber media, istilah ini merujuk pada kondisi penurunan fungsi kognitif akibat paparan berlebihan terhadap informasi yang bersifat dangkal, repetitif, dan hiburan instan seperti video pendek dari berbagai aplikasi media sosial secara terus menerus. 

 

Fenomena ini tidak hanya berdampak pada kemampuan konsentrasi, namun juga memberikan dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental generasi muda, terutama pada remaja dan dewasa muda. Konsumsi konten yang instan dan dilakukan secara terus menerus dapat mengganggu proses belajar, produktivitas, hingga relasi sosial.  Hal ini terjadi karena otak tidak terbiasa memproses sesuatu hal yang bersifat kompleks.

 

Brain Rot Si Pengrusak Otak

Melansir dari detik news, pada Desember 2024 lalu, Oxford University menobatkan kata brain rot sebagai Word of The Year 2024 yang dirilis secara resmi melalui akun Oxford University Press yang mana keputusan tersebut diambil melalui proses pemungutan suara publik yang melibatkan lebih dari 37.000 peserta dan para pakar bahasa Oxford University. 

 

Istilah “Brain rot” menggambarkan kondisi penurunan fungsi pada otak secara kognitif yang berdampak pada kesehatan mental. Meskipun belum secara resmi ditetapkan pada diagnosis klinis, namun fenomena ini semakin umum terjadi bahkan tanpa disadari oleh individu tersebut. Ciri jika seseorang terkena brain rot adalah sulit fokus dalam waktu lama, tidak sabar menghadapi proses, mudah terdistraksi, serta merasakan kekosongan mental atau “blank” setelah scrolling media sosial.

 

Dilansir dari Antara News, gejala brain rot lainnya juga mencakup sulitnya berkonsentrasi, penurunan daya ingat, kurangnya motivasi, ketergantungan pada dopamin instan dari konten viral, dan kecemasan dan kelelahan mental. Bahkan, dampaknya bisa sangat luas, mulai dari menurunnya performa akademik dan kerja, hingga terganggunya kesehatan mental dan relasi sosial.

 

Dengan adanya berbagai gejala dan dampak brain rot yang telah disebutkan, apakah pengguna media sosial menyadari akan fenomena ini? atau justru mereka acuh terhadap fenomena yang dapat mempengaruhi kesehatan ini?

 

Ketergantungan Dopamin yang Dianggap Sepele

 

Sumber utama pemicu brain rot ini berasal dari kebiasaan mengkonsumsi konten-konten digital di sosial media secara terus menerus, berlebihan dan memicu rasa lesu dan tidak produktif. Media sosial memiliki dua sisi, jika dimanfaatkan dengan baik, sisi positifnya adalah dapat memberikan akses yang begitu cepat atas informasi dan edukasi. Namun, sisi negatifnya dapat membuat individu menjadi tidak terkontrol, terciptanya distraksi yang kemudian memicu ketergantungan. 

 

Dilansir dari Timelines.id, konten semacam ini membuat otak terus-menerus akan melepaskan dopamin yang memberikan rasa senang pada individu dan menciptakan efek kecanduan. Hormon dopamin yang dilepaskan ini secara terus-menerus tanpa kontrol membuat otak menjadi ‘malas’ merespons stimulus lain, mengurangi fokus terhadap sesuatu hal yang lebih kompleks, bahkan cenderung sulit mengambil keputusan dan perencanaan.

 

Seorang ahli dari situs International Forum of Visual Practitioner, menyebutkan bahwa otak manusia memproses gambar 60.000 kali lebih cepat daripada tulisan. Sedangkan Hal ini tentu berkaitan dengan fenomena dimana manusia lebih suka menonton video di media sosial daripada membaca. Fenomena ini juga disebut sebagai “kemalasan kognitif” dimana manusia memerlukan usaha kognitif yang lebih sedikit dibandingkan dengan membaca. Kecanduan konten juga membentuk pola adiksi yang bisa disebut sebagai ‘narkoba ringan’ karena efek ‘candu’ dan perilaku yang terus diulang dan saat menontonnya, otak hanya mencari rangsangan cepat tanpa memproses informasi secara mendalam. 

 

Solusi yang Harus Dimulai Dari Diri Sendiri

 

Untuk menghindari risiko brain rot, individu dapat menerapkan hal-hal berikut ini. Pertama, menerapkan screen time atau digital Detox yaitu dengan mengatur waktu penggunaan media sosial, misalnya dengan membatasi atau menetapkan jam bebas gadget per hari nya. Selanjutnya, terapkan mindful consumption dengan mengkonsumsi konten yang bermanfaat dan memicu pemikiran kritis sehingga membantu otak memproses hal-hal kompleks.

 

Setelah itu, lakukan kegiatan alternatif dengan mengisi waktu luang dengan aktivitas non-digital seperti membaca, olahraga, memasak atau aktivitas lainnya yang sekiranya dapat membantu mendistraksi dari konten digital. Kemudian, bersosialisasi. Lakukan interaksi secara langsung dengan orang-orang sekitar seperti keluarga dan teman, meskipun hanya bersantai sejenak. Terakhir, hindari gadget sebelum tidur. Menggunakan gadget sebelum tidur dapat mengganggu kualitas istirahat. Tentu, hal ini akan berpengaruh pada kesehatan badan. Oleh karena itu, ada baiknya jika menghindari gadget maksimal satu jam sebelum tidur.

 

Patut disadari bahwa media sosial membawa manfaat dalam arus digitalisasi dari segala aspek. Sebagian orang, aktivitas media sosial kini menjadi bagian dari pekerjaan sehari-harinya. Oleh karena itu, tetap harus waspada untuk mengontrol dan membatasi diri dari paparan konten digital.

 

 

Oleh : Danindra Zalfa Fadhilah & Nofiyanti

Editor : Ananda Rizka Riviandini



TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini