Femisida merupakan bentuk paling ekstrim dari kekerasan dan penganiayaan terhadap perempuan, hal ini termasuk ke dalam kekerasan berbasis gender. Melansir dari Tirto, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyepakati bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang tersebar di dunia.
Dilansir dari VOA, Komnas (Komisi Nasional) Perempuan melaporkan sebanyak 159 kasus femisida di Indonesia sepanjang 2023. Kasus-kasus tersebut terdiri dari 9 kasus kekerasan terhadap istri, 1 kasus korban kehamilan yang tidak diinginkan, 1 kasus penelantaran terhadap pekerja rumah tangga yang sakit, dan 2 korban dari penyebaran konten intim non konsensual.
Kekerasan terhadap perempuan sudah banyak terjadi di Indonesia, sayangnya femisida belum menjadi fokus utama untuk ditangani. Alih-alih mendapatkan perhatian, femisida justru dianggap hal tabu karena belum dikenal secara luas. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui penyataan Komisioner Komnas Perempuan, Rany Hutabarat, “Femisida belum dikenal secara umum dan karena itu belum ada mekanisme upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan untuk korban dan keluarganya,” ujarnya dalam siaran pers yang dikutip dari media Tirto.
Perempuan Terancam, Femisida Benar Terjadi
Terungkapnya kasus pembunuhan terhadap ibu dan anak di kota Subang, menjadi bukti bahwa Femisida benar terjadi.
Femisida dapat terjadi oleh beberapa faktor seperti, faktor ekonomi, faktor kecemburuan/perselingkuhan, dendam, atau faktor lain seperti superioritas, dominasi, misogini, dan relasi kuasa anyara laki-laki terhadap perempuan. Kondisi seperti ini sudah biasa terjadi, maskulinitas laki-laki dianggap menjadi keunggulan yang harus ditakuti oleh kaum perempuan, karena itu laki-laki beranggapan bahwa mereka berhak atas pengendalian hidup perempuan. Oleh sebab itu, tidak heran jika pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah kaum maskulin. Namun, pelaku seringkali hadir dari lingkungan terdekat seperti suami/pasangan, kakak, adik, atau keluarga terdekat lainnya.
Kekerasan yang diterima perempuan tidak terbatas pada kekerasan fisik, tetapi juga pada kekerasan seksual, kekerasan psikis, hingga berakhir pada pembunuhan. Seperti kasus pembunuhan 2016 lalu, kasus ini memperlihatkan tindak kriminal yang dilakukan driver Ojek Online terhadap istrinya, pembunuhan tersebut dipicu oleh faktor ekonomi.
Kasus-kasus tersebut memantik kesadaran pada kaum perempuan, bahwa kesejahteraan perempuan mulai terancam. Selain itu, femisida juga memancing rasa takut dan kekhawatiran bagi perempuan, sehingga melahirkan banyak komunitas yang bergerak untuk kesejahteraan perempuan.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan sosialisasi untuk membangun kesadaran perempuan dan masyarakat terkait kekerasan yang menimpa kaum perempuan (femisida), dengan begitu, femisida mendapatkan perhatian dan dapat dicari upaya pemulihan yang tepat bagi para penyintas kasus kekerasan perempuan.
Karena dampak yang dihasilkan bersifat jangka panjang, para korban tidak hanya tersakiti secara fisik, bamun juga secara mental. Hal inilah yang menyebabkan depresi, trauma, hingga mengakhiri nyawa sendiri.
Saat ini pemerintah telah melakukan upaya pemberian konsultasi gratis, pendampingan psikologi oleh Komnas Perempuan, dan menyediakan layanan online serta hotline yang dapat dihubungi kapanpun. Namun pemerintah tetap harus membuat regulasi khusus untuk memberikan sanksi tegas kepada pelaku kekerasan femisida.
Dengan adanya pergerakan dari setiap elemen masyarakat, kesadaran hak yang perlu dimiliki oleh setiap insan kehidupan khususnya perempuan dalam hal femisida, pemetaan undang-undang yang tegas terhadap femisida, dan pengurangan budaya patriarki, femisida dapat dicegah atau bahkan dihilangkan. Dengan begitu, kesejahteraan hidup bagi sang puan dapat dicapai.
Penulis: Ananda Rizka Riviandini