Jakarta, 17 September 2023 – Ratusan massa aksi Global Climate Strike menyuarakan urgensi krisis iklim tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan tetapi juga ruang hidup yang aman dan sehat. Krisis Iklim dan kemerosotan demokrasi adalah dua hal besar yang dihadapi masyarakat Indonesia. Momentum kali ini bertujuan memperkuat seluruh elemen masyarakat dengan berkolaborasi dan memperkuat suara-suara kritis yang memperjuangkan keadilan hidup. Untuk itu #Pilih1Koma5 adalah jalan paling ideal dalam menghadapi krisis iklim.

Kenaikan suhu di atas ambang batas aman 1.5°C berdampak ke seluruh dunia, karena saat ini kita sedang menghadapi tiga krisis planet (triple planetary crises) yaitu perubahan iklim, polusi/limbah, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Tidak sedikit warga yang sudah mengalami dampak langsungnya, termasuk kenaikan permukaan air laut yang semakin nyata.

Merujuk dari dampak krisis iklim tersebut, kini kondisi wilayah utara Pulau Jawa, termasuk Pulau Pari yang berpotensi tenggelam dalam beberapa dekade mendatang, kecuali ada pengurangan emisi karbon global secara drastis. Warga yang tinggal di pulau yang mendapat julukan ‘pulau yang tenang dan mampu memberikan ketenangan bagi setiap pengunjungnya’ mengalami kehilangan sebagian besar pendapatan dari usaha wismanya setelah banjir skala besar melanda Pulau Pari pada 2021.

“2020 Banjir ROB dating pertama kali dalam sejarah masyarakat Pulau Pari yang sudah menduduki pulau ini dari sekitar tahun 1900 yang lalu atau sebelum Indonesia merdeka, jelas Ahmad warga Pulau Pari.”

Ahmad melanjutkan, bahwa 6 pulau di Kepulauan Seribu sudah tenggelam akibat reklamasi dan abrasi. Selain melakukan penanaman mangrove, untuk menjaga pulau, warga Pari menggugat PT. Holcim karena mereka menjadi salah satu industri penyumbang emisi terbesar dunia.

Sementara, kondisi panas ekstrem akibat El Nino yang semakin intens akibat perubahan iklim telah membuat lahan mudah terbakar. Balai Pengendalian Perubahan Iklim (BPPI) menyampaikan bahwa jumlah titik api di Kalimantan Barat mencapai 50.000, 4 kali lipat dari tahun 2022, menyebabkan hilangnya biodiversitas, polusi udara yang mengganggu kesehatan masyarakat, dan kehilangan nyawa. Masyarakat sipil pun akhirnya melakukan inisiatif pemadaman.

“Sampe sekarang pun, karhutla belum terpadamkan. Dampaknya pada kami di Kalimantan Barat, sudah ada 1 nyawa yang meninggal dunia akibat Karhutla,” kata Taufik, warga Pontianak yang turut terlibat dalam inisiatif pemadaman titik api.

Seperti inisiatif yang dilakukan warga Pontianak, inisiatif masyarakat dalam melakukan mitigasi dan adaptasi berbasis kearifan lokal untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim adalah hal yang sangat perlu didukung seluruh pemangku kebijakan bukan malah dipersulit. Alih-alih diberi dukungan, banyak masyarakat adat yang mengalami penggusuran dan kriminalisasi.

“Kebijakan apa yang hari ini bisa mengakomodir masyarakat adat? Kebijakan apa yang hari ini akhirnya berpihak untuk keseimbangan manusia dan alam semesta? Tidak ada. Kami gagal panen, padahal hidup kami bergantung pada alam, karena masuknya pemodal-pemodal dengan tawaran kesejahteraan versi penguasa dan pengusaha, tanpa melibatkan akar rumput dan masyarakat adat. Padahal masyarakat adat adalah solusi dari masalah yang terjadi hari-hari ini. Kesejahteraan versi masyarakat adat harus terus diperjuangkan bersama, karena kedaulatan masyarakat adat itu justru lebih dari kedaulatan negara ini,” ucap Apriliska Titahena, atau akrab dipanggil Ika, perempuan adat Nusa Ina, Maluku Tengah.

Di mana pemerintah berpijak

Di tengah gempuran dampak krisis iklim yang terjadi di Indonesia, pemerintah justru memilih untuk melakukan berbagai pembangunan yang tidak menjawab kebutuhan masyarakat baik dari aspek perencanaan maupun hasilnya. Walaupun digadang-gadang sebagai solusi, namun pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digencarkan di berbagai wilayah justru menimbulkan kerugian bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di area tersebut. Kerugian yang dirasakan antara lain terganggunya mata pencaharian akibat lingkungan yang dirusak, hingga terganggunya ruang hidup.

Salah satu dampak dari pembangunan PSN adalah munculnya titik api di  Eco City di Pulau Rempang dan Galang Kepulauan Riau. Proyek yang digagas sejak 2004 ini melindas 16 kampung melayu tua di 4 kelurahan Pulau Rempang dan Galang, serta berpotensi mencabut ruang hidup lebih dari 10 ribu orang yang turun menurun menetap sejak ratusan tahun.

“Saat ini ketakutan menghantui warga Rempang, dengan adanya tentara dan paksaan di mana-mana. Kami ingin merdeka. Kami berhak bertahan karena tanah ini adalah harta warisan nenek moyang kami, yang tidak akan pernah terganti dengan apapun itu. Daripada tempat kami direlokasi atau digusur, lebih baik tidak ada pembangunan sama sekali di tempat tinggal kami,” ujar salah satu perempuan dari Pulau Rempang.

Warga Pulau Rempang bukan satu-satunya warga yang menjadi korban konflik agraria, terlebih yang mengalami kekerasan dari aparat. ​​Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 212 konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun 2022 disertai dengan 497 orang yang mengalami kriminalisasi dan 3 orang di antaranya menjadi korban jiwa.

Hal ini pun turut dialami oleh warga Pigogah Pati Bubur, Kenagarian Air Bangis, Kecamatan Air Beremas, Sumatera Barat yang menolak pembangunan kawasan industri oleh PT. Abaco Pacific Indonesia seluas 30 ribu hektare yang tumpang tindih dengan dengan lahan wilayah kelola rakyat yang digarap sejak puluhan tahun yang lalu. Upaya perjuangan lebih dari 40 ribu warga berbuah kriminalisasi dan represi berulang dari aparatur negara.

“Kami mayoritas adalah petani dan nelayan. Seandainya PSN ini terlaksanakan, mungkin puluhan ribu Kenagarian Air Bangis akan terancam. Bagaimana lagi nelayan mencari ikan, apalagi program ini mencakup laut. Di mana lagi petani menanam, jika 40.000 hektar sudah diambil untuk proyek ini,” kata Supriadi, salah satu warga Kenagarian Air Bangis.

Solusi palsu adalah solusi yang fana

Keputusan yang dibuat pemerintah saat ini masih berkutat pada solusi-solusi palsu di isu iklim yang tidak menyelesaikan masalah. Alih-alih transformasi mendalam dan sistemik yang benar-benar dibutuhkan,  pemerintah justru mempromosikan solusi palsu seperti: subsidi kendaraan listrik yang tidak menyelesaikan polusi udara dan kemacetan; proyek Food Estate yang berujung mangkrak; adaptasi pesisir dengan pembangunan tembok; dan teknologi tangkap karbon (CCS/CCUS) yang tidak terbukti efektif. Di samping itu, pada sektor energi pemerintah justru mendukung solusi palsu seperti nuklir, hilirisasi batubara (PLTU Captive, DME, biomass co-firing), PLTSa, hidrogen, biofuel berbasis hutan industri, PLTA skala besar dan PLTPB.

“Jangan mau menderita seperti kami, seperti masyarakat pesisir yang terdampak. Terdampak oleh kebohongan dan kebodohan dari sifat dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat yang akhirnya membuat rakyat menderita, nelayan pun juga menderita,” seru Pak Khalil, nelayan pesisir Teluk Jakarta saat orasi.

Bahkan pensiun dini batubara, yang juga menjadi bagian kunci dari transisi energi, seakan hanya jargon yang fana, melihat tidak adanya upaya yang nyata untuk mengurangi penggunaan energi fosil . Salah satunya yaitu PLTU di Desa Tanjung Pasir, Pangkalan Susu yang mengakibatkan warga kehilangan pekerjaan, meningkatkan beban hidup, dan menyebabkan siswa tidak masuk sekolah karena penyakit kulit.

“Kalau berbicara tentang PLTU batubara yang berada di Pangkalan Susu sekarang ini sangat tidak mengenakkan. Dikarenakan PLTU batubara yg sudah beroperasi kurang lebih 6 tahun ini semakin memperburuk keadaan warga di Pangkalan Susu. Baru-baru ini sering nya terjadi bayi meninggal dikarenakan pernafasan dan pencernaan,” jelas Nurhayati warga Pangkalan Susu.

Lanjutnya, Nurhayati dan keluarga lainnya di Pangkalan Susu kini kesulitan untuk bertahan hidup. Pasalnya, pestisida makin mahal pupuk juga makin mahal tapi hasil pendapatan tidak mencukupi. Karena banyak padi yg batangnya busuk.

Solusi-solusi berbasis alam lokal tanpa merusak adalah kompas utama menuju jalan keluar dari hantaman bencana yang akan meningkat dan makin sering terjadi, khususnya dampak kenaikan suhu bumi. Laporan IPCC pada Maret 2023 menyarankan pengurangan emisi yang cepat dan signifikan pada sumbernya sangat diperlukan, karena dengan infrastruktur bahan bakar fosil yang sudah ada sekarang saja, sudah akan membuat batas kenaikan 1.5°C terlampaui.

Global Climate Strike kali ini bertajuk “Bersama untuk Keadilan Iklim”, memberikan panggung untuk rakyat yang bersama memperjuangkan ruang hidup dan keadilan iklim menjadi kunci utama kegiatan ini. Karena siapapun dan dimanapun semua akan terkena dampak krisis iklim. Atas semua peristiwa yang disampaikan oleh warga di atas, maka penting untuk anak muda hari ini menolak untuk tak hanya dijadikan kotak pungutan pajak dan suara. Aksi ini menjadi pengingat bahwa solidaritas harus terus dilakukan secara inklusif dan tegas.

 

Narahubung Media Global Climate Strike / 0811-9622-678 (Rafaela)

Oleh: Redaksi Gema Alpas

Sumber: Media Rilis Global Climate Strike 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini