Slogan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yaitu “Melindungi, Mengayomi dan Melayani Masyarakat” sangat dikenal dan mudah dijumpai. Mulai dari Website resmi Polri di www.polri.go.id, di kantor-kantor Polri dari tingkat Mabes sampai ke Pospol, bahkan di setiap pos polisi pinggir jalan, slogan tersebut akrab menyapa masyarakat.
Slogan tersebut bukanlah tempelan penghias belaka, akan tetapi merupakan amanat konstitusi, disebutkan secara eksplisit dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 30 ayat (4), kemudian dalam Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 pasal 6 ayat (1) yang menyebutkan peran Polri untuk “Memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”.
Namun, apa yang terjadi di masyarakat saat ini mayoritas berbanding terbalik dengan slogan tersebut. Mulai dari kasus-kasus represifitas aparat kepada rakyat sipil, arogansi, hingga kasus polisi ‘makan’ polisi. Dalam satu tahun terakhir saja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menemukan 667 kasus kekerasan yang dilakukan aparat polisi sepanjang Juli 2021 sampai Juni 2022.
Sabtu, 1 Oktober 2022 terjadi sebuah tragedi yang membuat citra kepolisian tercoreng kembali di mata publik. Kerusuhan terjadi selepas pertandingan sepak bola dari lanjutan BRI LIGA 1 antara Arema FC yang menjamu Persebaya Surabaya. Pertandingan diakhiri dengan kemenangan Persebaya atas Arema dengan skor 3-2.
Kekalahan Arema FC membuat para Aremania kecewa dan melakukan hal yang dinilai berlebihan. Para supporter masuk ke lapangan pertandingan untuk melakukan protes ke para pemain atas hasil yang diraih. Tak lama, beberapa botol minum dilempar dan bertebaran di pintu masuk ruang ganti bersamaan dengan petugas kepolisian yang membawa masuk para pemain masuk ke dalam.
Insiden tersebut memantik polisi sebagai pihak keamanan untuk bertindak. Alih-alih menertibkan massa, para aparat keamanan justru memancing tindakan yang lebih parah lagi. Bentrok kemudian terjadi antara polisi dan supporter, pihak kepolisian kewalahan dan memilih untuk melakukan kekerasan dengan memukuli supporter. Tameng hingga tongkat dilayangkan ke arah supporter yang berada di lapangan. Tentunya tindakan represif yang dilakukan oleh para aparat ini tidak bisa dibenarkan.
Tak berhenti di situ, polisi menembakan gas air mata ke arah penonton yang mulai meramaikan area lapangan bertandingan serta ke tribun pentonton. Hal ini membuat penonton yang berada di tribun menjadi tidak kondusif. Mereka berbondong-bondong berlarian menghindari kerusahan dan gas air mata dari polisi yang semakin membuat mereka sesak. Di lain sisi, pintu stadion yang dibuka dibatasi oleh panitia sehingga para supporter harus berdesakan untuk keluar.
Sangat disayangkan dengan keadaan mencekam tersebut berakibat pilu bagi seluruh insan sepak bola tanah air dan juga menjadi tragedi yang sangat menggores bagi negara Indonesia. Bagaimana tidak? Tragedi tersebut menyebabkan sekitar 678 orang menjadi korban dengan 131 diantaranya meninggal dunia.
Kejadian ini tidak hanya menjadi sorotan bagi bangsa Indonesia saja. Hal ini menarik simpati dari khalayak Internasional dari berbagai lapisan. Tindakan polisi dinilai sebagai faktor utama dibalik banyaknya korban jiwa yang berjatuhan, dari mulai kekerasan seperti pemukulan hingga penggunaan gas air mata yang membahayakan.
FIFA sebagai induk organisasi bagi sepak bola dunia bahkan sudah melarang keras penggunaan gas air mata di dalam pertandingan sepak bola. Tertulis di dalam FIFA stadium safety and security regulation pasal 19 jelas disebutkan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion. Bahkan dalam pasal tersebut juga disebutkan bahwa kedua benda ini dilarang dibawa masuk ke dalam stadion.
Lantas, mengapa penggunaan gas air mata masih dilakukan oleh pihak kepolisian?
ALL COPS ARE BASTARD (A.C.A.B) mungkin tidak asing bagi para kelompok supporter sepak bola di seluruh dunia sebagai stigma negatif mereka terhadap represifitas dan arogansi polisi yang jelas terlihat pada tragedi Kanjuruhan, Malang. Tindakan represif tersebut seharusnya tidak menjadi opsi pertama yang diambil, mengingat terdapat prinsip proporsionalitas (penggunaan kekuatan harus seimbang dengan ancaman yang dihadapi) dan nesesitas (penggunaan kekuatan dapat dilakukan jika memang diperlukan dan tidak dapat dihindari).
Kejadian ini merupakan bentuk nyata dari kultur kekerasan yang hidup dan terus tumbuh di badan institusi kepolisian negara Republik Indonesia (POLRI). Negara sudah sepatutnya mengusut tuntas tragedi ini dengan memastikan aparat kepolisian yang terlibat diadili sesuai mekanisme yang berlaku dan bebas dari praktik impunitas. Tak hanya itu, negara juga harus bertanggung jawab kepada para korban serta keluarga yang ditinggalkan.
Penulis: Raihan Fadilah
Editor : Fachri Reza